Featured Post

Recommended

Tunggu Tanpa Temu

  Huuufft.. Ku hembuskan nafasku berkali-kali Terasa berat memang Menanggung sendiri sesuatu yang tak satu orang pun tau Bahkan dind...

Tunggu Tanpa Temu

Tunggu Tanpa Temu

 


Huuufft..

Ku hembuskan nafasku berkali-kali

Terasa berat memang

Menanggung sendiri sesuatu yang tak satu orang pun tau

Bahkan dinding pun tak paham

Aku terus memandangi langit

Berharap langit tau isi hatiku

Aku berkali-kali bicara pada angin

Berharap angin sampaikan pada raga yang ku harap

Tapi semu

Tabu

Halu

 

Aku mungkin bukan orang yang diharapkan

Aku mungkin bukan yang ditunggu

Tapi kenapa aku terus-terusan menunggu

Tunggu yang tak berujung temu

Tunggu yang tak berakhir jawab

Terkadang aku bertanya

Apa aku berharap patah sepatah-patahnya?

Padahal aku sudah patah

Rantingku sudah ku ikat hanya dengan sedikit harap

Tapi masih ku gantungkan semuanya

Ku biarkan sesukanya

 

Maka remuklah seremuk-remuknya

Hancur sehancur-hancurnya

Lumat selumat-lumatnya

Tapi jangan lagi ajarkan aku berdiri

Cukuplah begini

Tunggu yang tak pasti…

Bolehkah Begini?

Bolehkah Begini?

 


Aku masih duduk terpaku. Menatap rintikan hujan di balik kaca café berukuran 3x8 ini. Tak ada sesiapa selain aku dan kesibukanku. Hanya beat lagu yang diputar yang ku rasa menjadikanku semakin tidak fokus.


Tapi yang lebih membuatku tidak fokus adalah apa yang kini menghantui fikiranku. Entah sejak kapan dia di sana, tanpa ku sadari dia sudah mengelabui hati dan fikiran ini.


Berulang kali ku tepis, lagi-lagi ia kembali dengan segunung harapan dalam dadaku. Sebab setiap kali kemunculannya, berkali-kali pula tanpa ku sadari senyumku merebak.


“Ah, haruskah ku teruskan? Atau ku sudahi sampai di sini?” batinku.


Dari dalam lubuk hatiku, aku merindukan perasaan ini. Merindukan hal-hal yang membuat hatiku berbunga-bunga. Entah kenapa, menatapnya saja membuatku bahagia.


“ Ayolah Fatih, jangan kapok jatuh cinta,” aku terus terusan menyemangati hatiku.


Sedikit demi sedikit, ku buka hati ini. Mencoba menerima dengan keadaan hati yang masih luka. Lalu aku sadar, bukankah setiap orang punya luka masing-masing? Bukankah setiap hati punya masa lalu masing-masing?


Aku semakin penasaran seperti apa luka hatinya, dan aku semakin bertanya-tanya siapa masa lalunya. Mengapa dia menghampiriku? Mengapa hatiku dengan mudah menerimanya? Mengapa aku berani mengambil resiko untuk kembali terluka?


Oh Tuhan. Ku pasrahkan semua padamu, biarlah aku terluka dalam keindahannya. Ku rasa tak mengapa, setidaknya izinkan kali ini aku terlena, sekali lagi. Tersenyum dan terjaga hingga fajar menyapa.


Aku terlalu pasrah kali ini. Aku yang tak mengharapkan apapun, dan ia yang tak pernah menuntut apapun. Bolehkan seperti ini Tuhan? Bolehkan ku pilih dia saja? Apakah dia rasakan yang sama Tuhan?


 Apa aku terlalu cepat jatuh hati? Apa aku terlalu mudah jatuh cinta? Tapi mengapa jantungku selalu berdegup kencang tiap kali melihat tingkah lakunya. Padahal tak ada hal apapun yang ia lakukan. Tapi seakan aku selalu merindukan kehadirannya.


Aku bahkan terlalu pasrah. Saat ku serahkan rasa dan hatiku. Padahal aku tak tau, mungkin saja bukan hanya aku pengisi hatinya, tapi dengan bodohnya tak ku pedulikan semua itu. Bahkan jika bukan hanya aku, aku masih menerimanya dengan lapang dada.


Entah lah, keindahan seperti apa dirinya, aku hanya terus-terusan haus ingin bersamanya.

TEMAN DI MEJA KOPI

TEMAN DI MEJA KOPI

 


Aku tersenyum seorang diri. Jari-jariku mengetik papan tombol gawai dengan kegirangan. Mataku berbinar, menyipit karena mata ini memang akan mengecil saat tersnyum. Mungkin orang-orang akan menganggapku sedang jatuh cinta. Ya, sama seperti kebiasaan orang jatuh cinta.


Aku bahkan tidak sadar kapan aku benar-benar jatuh hati. Aku fikir, takkan ada lagi laki-laki yang mampu membangunkan hasrat jatuh cinta dalam diriku. Entahlah, mungkin mereka berfikir aku terlalu kaku, terlalu tabu. Mungkin sebagian lagi akan berfikir mungkin aku sudah mulai menyimpang.


Aku hanya senang, entah sejak kapan dia mulai mengisi hariku yang kosong. Meskipun dia tak banyak membawa bunga, hanya sebuah bunga kuning jalanan, tapi mekar sepanjang jalan. Orang-orang takkan menyadari itu, tapi aku selalu menyukainya. Bunga liar di jalan.


Meski sempat beberapa kali menjalin hubungan, aku tak pernah lagi jatuh hati, setelah aku benar-benar menjatuhkan hatiku padanya. Pada seseorang yang kini jiwanya di dekat sang pencipta. Seseorang yang aku yakinkan hatiku dimilikinya, namun akhirnya ia pergi bersama harapanku.


Salahku memang, membiarkannya bersama harapan yang ku gantungkan untuk masa depan, padahal masa depanku tanpa kehadirannya. Tapi kini seseorang justru kembali datang. Menjelma menjadi seorang teman yang membuatku nyaman, lebih dari nyaman yang kuinginkan. Aku tak pernah berlaku seperti ini dengan yang lain. Meski ku akui, aku dekat dengan hampir semua lelaki yang ku kenal.


Tapi, entah kenapa kamu berbeda. Mungkin karena aku yang berharap lebih atau memang kamu yang datang dengan segala kehangatan. Sayangnya, tak ada kesempatan untukku meminta lebih. Mengutarakannya saja aku tak kan mampu, dan takkan ku lakukan. Meskipun hampir saja kubiarkan kebodohanku mengutarakannya beberapa waktu lalu, tapi ku fikir nanti akan merubah nuansa kita yang hanya teman di meja kopi.


Mungkin akan ku tutup hati ini dengan menutup rasa-rasa yang terus-terusan ku berikan pada mereka yang bahkan takkan bisa ku gapai. Entah lah, mengapa selalu menjadi punuk yang merindukan bulan. Sedangkan bulan selalu menatap mentari dan menunggunya dikemunculan pagi.

 

 

BNA, Februari, 24 11:45 AM




Pemuja

Pemuja

 


Alunan musik pop classic mendomininasi ruangan kayu. Suasana vintage membuat nyaman berada di sini. Meja kayu di sudut kiri. Beberapa lelaki sedang duduk dengan menatap laptop masing-masing. Satunya lagi sedang asik menonton anime di layar kecil hp nya. Sedangkan aku, sibuk mengarahkan jari-jari tangan yang menari di atas tombol keyboard


Huffft. Aku menghela nafas panjang. Sangat dalam. Ada sesuatu yang menghantui pikiranku belakangan ini. Tapi justru menjadikanku lebih produktif dalam menulis. Hampir setiap hari aku mulai menulis, mendeskripsikan setiap jengkal yang ku rasakan dalam kata-kata. Jatuh cinta.

 

Aku mengambil Hp, membuka Instagram dan mulai menjelajahi dunia maya ini. Andai Instagram itu sebuah dunia, mungkin banyak sekali pemuja dan orang terkenal di sana. Aku melihat sebuah video, seorang wanita berperawakan UK, aku menghentikan jariku. Aku memperhatikan video itu hingga selesai. Huffttt. Aku kembali menghela nafas panjang. Aku mengulangi video itu, berkali-kali dengan rasa kagum dan bahagia. Lalu ku tutup gawai ku. Menyenderkan badanku ke belakang kursi. Menghadap ke atas, dan merasa kasihan pada diri sendiri.

 

“Adilkah bagi kita yang mengagumi bahkan takkan pernah diketahui,” gumamku.

 Aku kembali menghela nafas berkali-kali. Membayangkan wajah yang selama seminggu terakhir menjadi topik utama dalam kepalaku. Ini meresahkan. Menggangguku. Tapi aku menyukainya. Keahlianku, mengagumi.

 

“Bisa gila aku,”. “ Tidak,tidak, ini hanya sementara, sebentar saja untuk saat ini, setelahnya aku akan melupakannya dan jatuh hati pada yang lain. Ya, aku hanya perlu menunggu beberapa saat,”. Gumam ku dalam hati.

 

Aku terus memberikan dukungan pada diriku, berharap aku bisa bertahan menghadapi perasaan in. Dengan bayang-bayangnya yang selalu muncul dan meluluhkan hatiku hanya karena aku melihat tingkah lakunya.

 

“Oh, tidak, jangan jatuh cinta,”.

 

Nyatanya aku mendapati diriku masih terjatuh dalam palung harapan padanya.

Aku pulang, meluruhkan semua yang meelakat di badanku, hanya tersisa sebuah kaos oblong putih dan celana boxer kesukaanku.

 

Aku masuk ke kamar mandi. Ku hempaskan baju basahku ke lantai, ku tumpahkan beberapa tetes sabun berwarna biru yang harum.

 

“Mana mungki Rey, kamu hanya seorang budak yang mencuci baju dengan tangan, sedangkan dia, bahkan sabun ini pun tak pernah menyentuh tangannya,”

 

“ Oh Tuhan, Aku benar-benar gila. Bagaimana bisa aku jatuh hati pada bidadari. Bisa, aku bisa jatuh hati pada bidadari, hanya saja tak mungkin bidadari akan mau masuk ke dalam kehidupanku yang tak berarti,”.

 

Aku menyikat baju dengan sendu. Ya, dengan menghayal dan membayangkanmu. Aku ingat pernah jatuh cinta pada seseorang karena rambutnya. Ya, aku memang selalu jatuh hati dari rambut seseorang. Hal yang sangat simple untuk disukai. Rambut hitam sedikit berwarna pirang itu tampak bergelombang. Sesekali kau seka dengan mengayunkannya ke samping. Tampaklah sudah keseluruhan wajahmu yang selalu ku puja. “ Apa yang aku suka dari mu? Aku pun tak tau,” tak ada jawabanya.

 

Aku selalu bertanya-tanya apa yang akan aku lakukan jika aku bertemu denganmu. Meski aku sadar jarak kita 2.334 km, 1.450 mil, 1.260 mil laut. Mungkin aku hanya akan terdiam. Menatap dan menatap. Karena bertemu dan tak bertemu bagiku sama saja. Aku tetap pemuja, hanya aku yang akan mencinta, bukan dicinta. Karena takkan ada cinta untuk budak kata, kau hanya akan hidup dalam setiap karyaku, bukan dalam hidup yang nyata bersamaku. Andai saja semua menjadi nyata, maka mungkin aku akan menjadi hamba Tuhan yang paling taat. Jika tidak, aku sudah tau harus apa karena ku sudah terbiasa, terbiasa memuja.

 

Aku bahkan tak cemburu melihatmu beradu acting dengan yang lain. Meski aku pernah berfikir bagaimana menjadi dia. Seindah apa bersamamu. Menatap wajah dan bibir indahmu dari dekat. Membelai rambut dan pipimu yang halus. Tapi ku sudahi semuanya. Aku sadar, aku hanya satu dari berjuta manusia yang menginginkan tempat sepertinya di sisimu, tapi kau pun memilihnya. Bagaimana akan ada aku?

 

Break Up Before Meet Up (End)

Break Up Before Meet Up (End)

 


***

Sudah 3 hari sejak aku datang ke dataran dingin ini. Aku akhirnya harus kembali ke kehidupanku yang semestinya. Aku melirik ke luar jendela dari mobil yang melaju, berbelok dan menanjak. Aku lalu menghubungi Aufa berkata padanya bahwa aku sudah menyelesaikan pekerjaanku dan sekarang aku sedang mempersiapkan diri untuk kepulangan Aufa. Di sebelahku, sebuah tas berisi bunga untuk Aufa, Edelweis yang aku beli tepat di bawah kaki Neder. Untuk kesayangan. Wah, romantisnya aku.


Di rumah, aku menjatuhkan semua barang bawaanku. Aku langsung menyapa Mora kceil. Pet liter dan makanannya masih tersusun rapi, pasti Jack baru saja selesai membersihkan rumahku. Aku memeluk Mora, mengajaknya bicara sekedar tanya bagaimana keadaannya saat aku tidak ada. Penatku rasanya hilang hanya dengan bermain dengan Mora. Anak buluku. 


Setelah mandi, aku merebahkan diriku di kasur yang hanya cukup untuk aku seorang. Mora tidur di sampingku, aku mengambil hp dan mencoba menelfon Aufa. Aku rindu wajahnya. Beberapa kali aku coba menelfon, ia tidak menjawab.


“ Hei, lagi sibuk ya,? Kataku melalui pesan whatsapp.


Tidak ada jawaban. Aku menunggu sambil menghayalkan beberapa hal, hal baik hal buruk pekerjaan dan lain sebagainya. Blip, pesan balasan dari Aufa masuk.


Hei, Sorry baru balas. Maaf aku lagi ada sedikit tugas, nanti aku hubungi ya,” kirimnya dengan emot love di akhir kalimat. Wah, itu cukup membuatku deg degan, senang.


“ Oh, ok. I’ll wait. Hati-hati di sana ya,” kataku.


Aku lalu memutuskan untuk tidur, menghilangkan semua penat yang menumpuk. Menuju pulau mimpi.


Tak terasa ternyata malam ditelan terang yang merebak seketika tanpa ku sadari.


Krriinggg. Krriingg.


Alarm hp ku berbunyi. Aku merabanya dan mengitip, 5:05 AM. Aku membalikkan badanku, menghadap atap. Menarik nafas pelahan, menyentakkan badaku ke atas dan bangun. Aku duduk sambil mengusap-usap mata. Ku lihat lagi hp ku. Lima panggilan dari Aufa dan 3 pesan belum dibaca. Ternyata aku selelah itu hingga tidak sadar bahwa ia menelfon ku. Aku membuka pesannya. Aufa memintaku untuk menelfonnya semalam, mungkin dia menungguku hingga pukul 11:45 PM. Bisa-bisanya aku tidak tahu.


“ Aufa, Sorry. Semalam aku ketiduran dan nggak sadar kamu telfon, mungkin karena kelelahan.”


“ Kamu sudah bangun? Jangan lupa shalat subuh ya,” ku akhirnya pesan dengan tanda love.


Aku lalu bergegas bangun dan shalat subuh.  


Hari ini Rabu, sisa dua hari lagi sampai Aufa pulang kembali ke sini. Aku sudah tidak sabar menunggunya. Mempersiapkan segala sesuatu, yang akan menjadikan pertemuan itu berkesan dan takkan terlupakan. Selesai shalat aku langsung membereskan barang-barang bawaanku. Bunga spesial untuk Aufa aku tata rapi agar tidak patah atau gugur karena tertimpa. Syukurnya, Edelweis akan tahan untuk jangka waktu yang lama, seperti julukannya, bunga abadi.


Sudah pukul 08:10 AM. Aufa belum membaca pesanku. Oh iya, aku baru ingat, pasti dia sudah pergi berkegiatan lain, mengingat aku dan dia berbeda kurang lebih 2 jam.


“Mungkin dia lagi sibuk, banyak tugas dari short course yang lagi diikutinya,” batinku.


Aku bergegas mandi dan bersiap untuk menulis laporan kegiatan kemarin. Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Mengunjungi basecamp, minum kopi sendirian, bertemu Jack dan berterima kasih padanya sudah menjaga anak-anakku dan bekerja seperti biasa. Tapi entah kenapa belum ada pesan balasan dari Aufa.


Aku mneyeruput kopi di sampingku. Mengambil hp ku, dan melihat pesan yang ku kirim ke Aufa. Dia online 30 menit yang lalu, tapi kenapa dia tidak mengabariku. Atau mungkin terlalu sibuk. Apa aku belum menjadi prioritasnya? Atau mungkin memang terlalu sibuk? Aku tidak tahu kondisi seperti apa yang sedang dialaminya.


“ Hei, sayang. Jangan lupa makan ya, jaga kesehatan. Kalau sudah tidak sibuk, kabari aku,” ku kirim pesan padanya.


Aku lalu membuka Instagram, ternyata Aufa sempat membuat story, sekitar 2 jam yang lalu. Foto Sakura dengan background Gunung Fuji, Aufa menulis caption “Tough Decition”. Aku mengerutkan kening. Aku berfikir apa yang mungkin difikirkan. Tapi yang lebih aku fikirkan, kenapa dia tidak mengabariku? Mungkin terjadi sesuatu, atau mungkin dia marah padaku?


“ Hei, kamu marah sama aku?” ku tulis komen di storynya.


Dia membacanya.


“ Fatih, maaf baru balas pesan kamu. Aku lagi ada tour sama teman-teman di sini dan aku juga ketemu teman lama, kebetulan dia sama keluarganya, ini aku lagi sama mereka, nanti aku hubungi kamu lagi ya, sehat-sehat di sana,” balasnya.


Aku membacanya, sedikit lega, tapi sedikit aneh menurutku. Apa mungkin Aufa menyembunyikan sesuatu dari ku? Tapi semuanya segera ku tepis, mungkin memang benar dia sedang sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.


Aku menunggu pesannya seharian. Aku juga terus memberikan kabar padanya. Tapi hingga malam, dia masih tidak memberikan kabar. Aku sedang menonton serial Netflix, menunggu Aufa hingga larut malam, dan kebetulan kantuk belum menyapaku, lagi pula ini masih pukul 11:10Am.


Blip. Satu pesan dari Aufa. Muncul notifikasi di atas layah hp ku. aku langsung membukanya.

 “Akhirnya,” batinku.


“ Fatih, aku minta maaf sebelumnya. Belakangan aku terlalu sibuk jadi aku jarang berkabar denganmu. Aku juga rindu sama kamu, aku berharap bisa kembali ke sana dan kita bisa duduk bareng sambil bercerita menatap senja bersama. Sayangnya, mungkin hal itu tidak bisa lagi kita lakukan. Mungkin ini jelas kesalahanku, aku yang tidak bisa memberikan keputusan apapun tentang hidupku. Aku yang terlalu cepat jatuh hati padamu, semua karena sikap manismu padaku. Aku menyukainya Fatih, aku menyukaimu. Sangat suka. Kamu mengembalikan senyuman itu padaku, memperbaiki luka hatiku yang pada awalnya aku tidak tahu apakah bisa. Tapi sayangnya, aku bukan orang yang tepat untuk mendapatkan perlakuan manismu itu, aku tidak pantas mendapatkannya. Maaf. Mungkin setelah ini kamu akan menganggapku memperlakukanku sebagai pelampiasan, tapi aku tak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Aku fikir aku sudah melupakannya dan menggantikannya denganmu. Nyatanya, aku tidak bisa membohongi hatiku, aku masih memiliki rasa padanya. Mungkin kamu benar, ini bukan rasa cinta yang aku punya untuknya, tapi rasa takut untuk mengenang masa indah. Dan aku berfikir, mungkin aku akan kembali mengulang kisah bersamanya. Aku mengenalnya Fatih, dia sama sepertiku. Mungkin kemarin adalah murni kesalahan yang ku buat dengan tidak sengaja membawamu jatuh ke dalam jurang yang ku buat untuk menyelamatkanku. Mungkin setelah ini, kita hanya akan menjadi teman, bilapun kamu masih mau berteman denganku. Deri kemarin bertemu dengan ku di Tokyo, ia bersama orangtuanya. Dan terjadi pembahasan bahwa ibunya ingin aku dan Deri kembali dan berjalan ke jenjang yang lebih serius. Ibunya memohon padaku, aku menolaknya. Aku bilang bahwa aku tidak bisa lagi kembali, tapi ia memohon hingga menjatuhkan air matanya. Deri juga berjanji untuk lebih saling memahami. Aku tidak tau harus bagaimana Fatih.  Aku tau, mungkin kamu berfikir bahwa aku cukup egois untuk melakukan semua ini padaku, cukup kejam untukmu. Tapi inilah kenyataannya, akupun, tak ada yang bisa aku lakukan selain mengorbankan perasaanku padamu, pada hubungan kita yang masih sangat belia. Maafkan aku Fatih, aku selalu sayang kamu,”.


Aku membacanya perlahan. Menghayal semua tulisan itu menjadi suara Aufa yang selalu aku rindukan. Seseorang yang belakangan menghapus masa laluku. Kini berubah menjadi mimpi buruk yang jauh lebih buruk dari yang ku fikirkan. Saat aku baru saja membangun rumah baru, baru ku siapkan pondasinya, lalu dirubuhkan sendiri oleh orang yang memintaku untuk membangunnya. Aku terdiam tak berkata, aku pun hanya menatap tulisannya. Tapi perlahan pipiku basah, beberapa tetes air membasahi daguku dan menetes jatuh. Aku meletakkan hp ku. tak membalas apapun. Aku hanya terdiam, menyenderkan diri dan menatap ke arah dinding. Di meja itu, bunga untuk Aufa sudah ku siapkan, lengkap dengan ucapakan romantisku untuknya.


“ Ternyata Edelweis bukan lambang keabadian, karena takkan ada yang abadi selain rasa sakit,” kataku.


Aku lalu merebahkan diriku. Menghela nafas. Hp ku berdering, Aufa menelfon. Aku terisak.


***

Aku membuka mata. Matahari sudah masuk dari celah jendelaku. Aku membalikkan badan, membentangkan badanku ke arah atap. Mencoba berfikir apa yang terjadi semalam, mungkin mimpi. Nyatanya, mimpi indah itu sudah berakhir dan kini aku terbangun dengan perasaan hancur, lebih hancur dari sebelumnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Mataku berat, seperti banyak sekali air tertahan di sana. Hp ku berdering. Jeri menelfon. 10 Panggilan tidak terjawab, 8 dari Aufa. 7 jam yang lalu.


Aufa mungkin sudah berada di pesawat sekarang. Hari ini jadwalnya kembali. Tapi aku peduli apa? Dia tidak butuh aku lagi. Aku bukan lagi sesiapanya. Lukanya kini hilang, ditutup dengan kenangan lama sebelum luka. Sedang aku, aku harus menyembukan ini sendiri, tanpa sesiapapun yang tahu. Bahkan siapa yang tahu bahwa luka lama pun menyembur keluar.


13:45PM. Pesawat penerbangan dari Tokyo baru tiba. Aufa keluar dari pintu kedatangan bersama beberapa temannya. Aufa melirik ke kiri dan ke kanan. Entah siapa yang diharapkannya muncul. Teman-temannya lalu mendahului, Aufa berdiri menunggu. Mengerluarkan hp dan menghubungi seseorang.


“Aufa,”


Aufa menoleh ke belakang. Ia terkejut melihatku muncul di belakangnya. Aku tersenyum ke arahnya. Aufa hanya diam, membalas dengan wajah kasihan.


“ Jangan sedih, jangan mengasihaniku begitu,”


“Alhamdulillah kamu sampai dengan selamat.” Kataku menahan rasa dalam dada.


“ Kamu di sini Fatih? Tapi kamu tidak marah padaku?” matanya mulai berkaca-kaca.


“ Kenapa aku harus marah? Aku bahkan tidak punya waktu untuk itu, semuanya terlalu singkat. maaf aku tidak membalas pesanmu. Aku tidak tahu harus apa, tapi aku ke sini cuma mau kasih ini,  Aku senang kamu kembali,” aku menyerahkan Edelweis yang sudah ku rangkai sendiri pada Aufa, ia menerimanya dan membaca tulisannya yang ada di sana.


Yang abadi akan selalu abadi, yang tak abadi hanya bisa kita nikmati sesaat sebelum semuanya kembali pada yang seharusnya, takkan ada keindahan yang abadi tapi buatku mungkin aku akan mengabadikanmu,”


“ Aku ke sini hanya untuk menepati janji bahwa aku akan menjemputmu di bandara ketika kamu pulang. Tapi maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang. Sama seperti hubungan kita takkan ada yang bisa kita bawa pulang, karena aku bukan rumahmu, dan kau pun bukan lagi rumahku. Kita dipertemukan hanya untuk saling mengobati hati. Terima kasih sudah mengobati luka lamaku, dan kini aku punya luka baru di sana.”


Aufa hanya diam dan menangis menatapku.


“ Hei, jangan menangis. Aku yang salah, aku yang mencoba menjadi sosok itu. Tanpa sadar aku bukan orang yang pantas bersanding denganmu. Sakit memang, tapi tenang, kamu bukan dendamku. Kamu pengajaran agar aku tidak lagi mudah jatuh hati. Tidak mudah percaya pada luka dan juga senyum ceria yang bisa berubah kapan saja. Kamu selalu bertemoat dihatiku, entah di sebelah mana nantinya, tapi aku selalu berharap kamu mendapatkan kebahagiaan seperti yang kamu inginkan, yang seharusnya,”.


“ Fatih, aku minta maaf,”


“ Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tahu, inilah hidupku. Sebatas pujangga perangkai kata. Kesalahanku, aku terlalu berani untuk mencoba memiliki pemeran utama dalam setiap tulisanku, padahal aku tau pemeran utama itu selalu ada pangeran yang menunggu di akhir cerita, dan aku hanya akan menjadi penulis jalan cerita. Aufa, kamu selalu menjadi hal berarti dalam hidupku, semoga kebahagiaanmu abadi bersamanya, seabadi Edelweis di musim dingin, aku pamit,”


Aku meninggalkan Aufa sendiri, berdiri terpaku dengan bunga di tanganya. Air matanya terus bercucuran. Tapi aku bisa apa? Hatiku juga menangis lebih dari seharusnya, harusnya aku membencinya kan? Bukan justru memberikan selamat. Aku justru mengutuknya karena memberikan luka yang lebih sakit dari hanya sekedar tidak dimengerti, bukan memberikan bunga dan berharap bahagia. Aku terus berjalan. Menatap ke depan. Aku sadar, bahwa aku selalu ingin menjadi pemeran utama dalam hidupku, tapi ternyata pemeran utama tak selamanya bahagia, film romantis tak selamanya berakhir manis, terkadang penulis ingin membuatnya menangis, terluka, terpuruk dan berakhir tragis. Dan di sinilah aku, di pemberhentian selanjutnya, menunggu seseorang yang hanya akan sekedar singgah dan pergi setelah berlalu resah.

***THE END***