Cerita Sepotong Gorengan
Cerita HidupHidup adalah tentang
belajar dan rasa syukur. Begitulah yang layak dikatakan berdasarkan cerita yang
akan saya bagikan. Hidup bukan tentang siapa yang memberimu pengajaran tapi
tentang apa yang diajarkan.
Minggu lalu, saat matahari baru saja tergelincir dari ujung bayang jemari, aku memutuskan keluar dari gedung-gedung besar itu. Dengan sepeda motor vario hitam ku, aku menuju ke arah jalan Teuku Umar.
Ada hal yang aku lakukan saat itu, dan
aku pun lupa. Yang aku ingat setelah menyelesaikan tujuan ku, aku pun berbalik
arah dan kembali.
Di tengah perjalanan, entah kenapa aku memutuskan untuk
membeli beberapa gorengan.
“Mungkin aku bisa makan gorengan ini bersama teman-teman di
kantor,” fikirku.
Aku pun membungkus gorengan untuk ku santap dengan yang lain.
Setelah melanjutkan perjalanan, aku kembali membelokkan
motor ku ke salah satu SPBU dan mengisi penuh BBM motor yang memang sedari tadi
sudah mengedip.
Full tank. Lima puluh ribu. Aku merogoh saku celana dan
mengeluarkan uang pas, biru, lima puluh ribu, menyerahkannya ke petugas SPBU
dan menutup tangki motorku.
Tapi saat itu, mataku tertuju kepada seorang perempuan yang
duduk di tepi jalan, bersebelahan dengan SPBU ini. Itu bukan perempuan yang
biasa aku lihat berjualan di sana.
Ya, aku hapal sekali perempuan tuna netra yang duduk sambil
memegang sebuah tongkat tersangkut puluhan plastik berisi kerupuk dan
kacang. Hari ini berbeda. Tidak ada
kerupuk di tongkat yang dipegangnya. Dan itu bukan perempuan yang biasa ku
lihat.
Perempuan ini sedikit lebih muda dari sebelumnya. Anaknya
kah? Atau rekan? Ah, aku tidak ambil pusing. Aku tetap berhenti tepat
dihadapannya. Ku lihat matanya dan ku perhatikan wajahnya. Beda.
Aku merogoh kantong ku, dan mengeluarkan selembar uang yang
ku letakkan dan ember kecil di tangannya. Tanpa berfikir, spontan aku mengambil
pisang goreng dalam plastik yang tadi ku gantung di motor.
“ Ek pisang gureng kak? (Mau pisang goreng kak?),” tanyaku.
“Ha?.” Katanya sambil memegang telinga kirinya dan
mengarahkannya kepadaku.
Aku sempat terdiam beberapa detik.
“Pisang gureng. Nyoe pat kak (pisang goreng. Ini kak),” aku
menyodorkan pisang itu ke tangannya.
“ Alhamdulillah,” ucapnya sambil sedikit tersenyum dan
langsung melahap gorengan tersebut.
Aku kembali merogoh kantung plastik tadi.
“Nyoe pat saboh teuk kak (Ini satu lagi kak),” sambil
meletakkan pisang kedua ke tangannya.
Aku sempat terhenti sejenak, berfikir apakah yang ku lakukan benar? atau justru salah? aku terus merasa bersalah.
Aku tak berlama-lama lagi. Matahari seakan ingin membakar
tubuhku saat itu. Aku bahkan bisa melihat peluh menetes di wajahnya, tak ada
payung atau penghalang panas. Hanya dia, tongkat dan sebuah ember kecil
berwarna biru.
Aku memacu motorku, sambil terus terfikir perempuan itu. Tiba-tiba hatiku sesak. Aku ingin menangis.
Aku terus terusan membatin.
“Oh tuhan, besar sekali cobaan hidup yang dirasakannya,”
“ Engkau uji dia dengan penglihan dan engkau uji pula ia
dengan pendengarannya,”
Ditambah, sudah barang tentu dia menjemur kulitnya di terik
mentari hanya untuk sesuap nasi. Semoga Allah yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang senantiasa memberikanmu pahala melimpah atas kesabaran mu menjalani
kehidupan ini.
Aku masih terus menahan sesak di dadaku. Mataku sudah
dipenuhi air yang siap untuk menetes, tapi aku tahan.
Aku harap setidaknya pisang itu bisa mengganjal laparnya
sementara, aku harap ada ribuan manusia lain yang juga memperhatikannya, aku
harap banyak manusia di luar sana yang peduli kondisi mereka. Bukan hanya
perempuan itu, tapi ribuan manusia lainnya yang masih berjuang untuk hidup
bersama ujian yang selalu ditanggungnya. Semoga kita senantiasa menjadi manusia
yang selalu bersyukur, insan yang saling menyayangi. Semoga!