Monisa yang Terlupakan
Monisa yang Terlupakan
Siang itu, matahari bersinar tepat di atas
kepala, sembari dengan itu angin kencang pun bertiup hinggga membuat padi-padi
hijau menari-nari ke kiri dan kanan. Satu dua orang tengah duduk di depan rumah
mereka. Tidak ada yang kendaraan yang lalu lalang di jalan setapak yang hanya
bisa dilewati satu mobil saja, hanya tampak anak kecil yang tengah
kejar-kejaran.
Di ujung jalan tampak sebuah gapura bertuliskan
“Selamat Datang di Makam Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah”. Itulah
Monisa yang merupakan sebuah monumen yang berupa makam raja pertama dari
Kerajaan Islam, Peureulak, yang disepakati pembangunannya pada seminar Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara tahun 1980 di Rantau Kuala Simpang
yang dihadiri tokoh-tokoh sejarah dunia dan Asia Tenggara.
Memasuki pekarangan Monisa terdapat sebuah
kantor kecil di sebelah kanan gapura, sebelah kiri gapura berdiri pula sebuah
balai pengajuan kecil dengan warna yang masih terang dan kokoh. Begitu juga ada
beberapa bangunan lain yang baru saja mendapatkan pemijahan dari pemerintah
daerah.
“Iya, ini kantor sekretariat baru dibuat selama
masa pemerintahan yang sekarang”. Jawab Teungku Haji Abdullah yang sudah 17
tahun menjaga makam di Monisa.
Ada dua balai pengajian disana. Yang satu
tampak masih baru dengan cat yang masih bagus tanpa goresan, sedang yang
satunya lagi hanya kayu biasa tanpa cat yang terletak berdekatan dengan mesjid.
Di depan mesjid itulah makam Raja dari Kerajaan Islam pertama disemayamkan
bersama dengan permaisurinya, Sultan Alaiddin Maulana Sayed Abdul Aziz Syah
bersama Putri Meurah Makhdum Khudawy, yang merupakan anak dari Syahir Nuwi.
Makam yang berada dalam pagar berukuran 4x6
meter itu terdapat tulisan pada kepala makam yang berbunyi ‘Makam Sultan Alaiddin
Maulana Said Abdul Aziz Syah dan Istri Putri Meurah Mahdum Khudawi Pendiri
Kerajaan Islam 1 Asia Tenggara Bandar Khalifah Peureulak Berkuasa Selasa 1 Mhr
225H-249H=840M-864M Wafat 249H=864M’.
Makam tersebut bertopangkan empat buah penyanga
dari beton dan beratapkan bagai rumah, berwaran kuning serta terdapat sedikit
hijau pada ukirannya dan coklat pada atapnya. Tak ada keributan di sana, hanya
suara anak kecil yang tengah bermain di atas balai pengajian dan sisanya ikut
melihat makam raja mereka terdahulu.
Makam tersebut bertaburkan batu-batuan
diatasnya dan sebuah batu besar sebagai penanda lokasi kepala.
Di ujung sudut kanan MONISA, tampak dari
kejauhan hamparan tanah seluas kurang lebih 50 meter. Siapa yang mengira bahwa di
sana terdapat makam seorang Kadi (Hakim) dan seorang panglima yang dimakamkan
dalam satu lubang hingga memiliki panjang kurang lebih 6-7 meter.
Hanya bertandakan batu dan gundukan
kerikil-kerikil yang memberitahukan bahwa itu merupaka makam terpanjang di
MONISA. Juga ada beberapa makam lain yang terdapat disampingnya.
Siang itu,tak ada peziarah yang datang, sebab
dikata Abdullah hanya ketika Ramadhan dan tahun baru Islam saja pengunjung
ramai berdatangan, itupun dari luar daerah.
“Pengunjung datang saat mau bulan Ramadhan, Bulan
syaban dan saat tahun baru Islam,” ucapnya.
MONISA sendiri terletak di Bandar Khalifah,
Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Awal pertama masuknya Islam di
Nusantara dimulai dari datangnya Pangeran Salman yang merupakan putra Mahkota
Dinasti Sassanid dari Persia yang kemudian menikah dengan Puteri Jelita dari
Istana Negeri Jeumpa, Puteri Mayang Selundang.
Lalu Pangeran Salman dan istrinya pergi ke Negeri
Peureulak dan tinggal disana bersama Meurah Peureulak. Hingga ketika Meurah
Peureulak wafat, rakyatpun mengangkat Pangeran Salman menjadi Meurah Peureulak
yang baru.
Ketika masyarakat Peureulak beserta rajanya
telah memeluk Islam secara resmi. Datanglah rombongan armada dakwah dari Arab
yang dipimpin oleh Khalifah Harunnurasyid dan salah satu diantaranya adalah
Sayed Al Al Muktabar bin Saidina Muhammad Al Baqir bin Saidina Ali Muhammad
Zainal Abidin bin Saidina Husain bin Saidina Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Sayed
Ali Al Muktabar menikah dengan putri Makdum Tansyuri dari Istana
Kemaharajaan Peureulak. Dari penikahan inilah lahir seorang putra bernama Sayed
Maulana Abdullah Aziz Syah yang kini menjadi raja pertama yang menyebarkan
melalui kerajaan.
Hingga kini 12 abad telah
berlalu, hanya tinggal cerita dan peninggalan sejarah yang tertinggal di pelupuk
mata. Pemerintah juga telah berusaha untuk membangun kembali sejarah-sejarah
Islam Aceh yang selama masa penjajahan Belanda diselewengkan dari kenyataan dan
kebenaran sejarah itu sendiri. Maka dari itu, Departemen Agama mencoba
mengembalikan kebenaran sejarah Islam di Indonesia melalui seminar-seminar
sejarah Islam.
Namun kehebatan sejarah lahirnya Monisa belum bisa menandingi
situs-situs sejarah lainnya. Monisa masih jauh dari perhatian masyarakat
sebagai situs sejarah awal masuknya Islam ke Aceh.
Menurut Ajidar Matsyah, penulis buku ‘Jatuh
Bangun Kerajaan Islam di Aceh’, bahwa Monisa sangat layak masuk kedalam cagar
budaya karena disitulah awal mula penyebaran Islam dimulai dan kawasan
sekitarnya juga memiliki hubungan yang erat.
“Karena di situlah napak tilasnya, kemudian
kawasan di sekitarnya memiliki hubungan erat dengan eksistensi pusat sejarahnya
dulu,” jelas Ajidar ketika dihubungi via WhatsApp.
Ia juga
menambahkan bahwa, adanya makam Sultan Maulana Sayed Abdul Aziz
Syah sangat penting untuk Aceh dimasa depan.
“Adanya makam Abdul Aziz Syah tersebut sangat
penting untuk masa depan Aceh dalam konteks identitasnya. Pemerintah daerah
perlu memperhatian serius untuk merawat makam tersebut,” tambah dosen di UIN
Ar-Raniry, Banda Aceh.
Hal ini juga disayangkan oleh Hamsal, salah
seorang warga Ranto Panjang, Peureulak, Aceh Timur. Sebab menurutnya Monisa
merupakan cerminan masa lalu untuk menjalankan kehidupan di masa depan.
“Sayang sekali kalau situs sejarah itu
tidak dimanfaatkan lebih, karena dengan adanya sejarah, anak cucu kita bisa
bercermin kepada masa lalu untuk lebih maju di masa kini dan yang akan datang,”
ucapnya.
Tidak ada peninggalan sejarah berupa Candi,
Arca atau lain sebagainya sebagai bukti bahwa dimasa silam terdapat kerajaan
besar yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru Nusantara. Bekas kerajaan Islam
tersebut hanya berupa gundukan tanah dan kolam yang sudah tertimpun tanah dan
ditumbuhi ilalang di bawah sebuah pohon.
Dalam catatan hanya ada naskah-naskah
tua, sebuah Al-qur’an bertuliskan tangan dan mata uang kerajaan Peureulak
yang menjadi bukti nyata adanya kerajaan yang memiliki pengaruh besar dalam
penyebaran Islam Nusantara.
“Sejarah
adalah identitas suatu bangsa, demikian bangsa yang besar ialah bangsa yang
menghargai sejarah bangsanya. Sejarah adalah catatan tentang orang-orang besar.
Maka makam Abdul Aziz Syah adalah identitas muslim Aceh,” tutup Ajidar.
Good one. Apa kepanjangan Monisa?
BalasHapusMonumen Islam Asia Tenggara miss.
BalasHapus