TEMAN DI MEJA KOPI

TEMAN DI MEJA KOPI

 


Aku tersenyum seorang diri. Jari-jariku mengetik papan tombol gawai dengan kegirangan. Mataku berbinar, menyipit karena mata ini memang akan mengecil saat tersnyum. Mungkin orang-orang akan menganggapku sedang jatuh cinta. Ya, sama seperti kebiasaan orang jatuh cinta.


Aku bahkan tidak sadar kapan aku benar-benar jatuh hati. Aku fikir, takkan ada lagi laki-laki yang mampu membangunkan hasrat jatuh cinta dalam diriku. Entahlah, mungkin mereka berfikir aku terlalu kaku, terlalu tabu. Mungkin sebagian lagi akan berfikir mungkin aku sudah mulai menyimpang.


Aku hanya senang, entah sejak kapan dia mulai mengisi hariku yang kosong. Meskipun dia tak banyak membawa bunga, hanya sebuah bunga kuning jalanan, tapi mekar sepanjang jalan. Orang-orang takkan menyadari itu, tapi aku selalu menyukainya. Bunga liar di jalan.


Meski sempat beberapa kali menjalin hubungan, aku tak pernah lagi jatuh hati, setelah aku benar-benar menjatuhkan hatiku padanya. Pada seseorang yang kini jiwanya di dekat sang pencipta. Seseorang yang aku yakinkan hatiku dimilikinya, namun akhirnya ia pergi bersama harapanku.


Salahku memang, membiarkannya bersama harapan yang ku gantungkan untuk masa depan, padahal masa depanku tanpa kehadirannya. Tapi kini seseorang justru kembali datang. Menjelma menjadi seorang teman yang membuatku nyaman, lebih dari nyaman yang kuinginkan. Aku tak pernah berlaku seperti ini dengan yang lain. Meski ku akui, aku dekat dengan hampir semua lelaki yang ku kenal.


Tapi, entah kenapa kamu berbeda. Mungkin karena aku yang berharap lebih atau memang kamu yang datang dengan segala kehangatan. Sayangnya, tak ada kesempatan untukku meminta lebih. Mengutarakannya saja aku tak kan mampu, dan takkan ku lakukan. Meskipun hampir saja kubiarkan kebodohanku mengutarakannya beberapa waktu lalu, tapi ku fikir nanti akan merubah nuansa kita yang hanya teman di meja kopi.


Mungkin akan ku tutup hati ini dengan menutup rasa-rasa yang terus-terusan ku berikan pada mereka yang bahkan takkan bisa ku gapai. Entah lah, mengapa selalu menjadi punuk yang merindukan bulan. Sedangkan bulan selalu menatap mentari dan menunggunya dikemunculan pagi.

 

 

BNA, Februari, 24 11:45 AM