Bolehkah Begini?
Aku masih duduk terpaku. Menatap rintikan
hujan di balik kaca café berukuran 3x8 ini. Tak ada sesiapa selain aku dan
kesibukanku. Hanya beat lagu yang diputar yang ku rasa menjadikanku semakin
tidak fokus.
Tapi yang lebih membuatku tidak fokus adalah apa yang kini
menghantui fikiranku. Entah sejak kapan dia di sana, tanpa ku sadari dia sudah
mengelabui hati dan fikiran ini.
Berulang kali ku tepis, lagi-lagi ia kembali dengan segunung
harapan dalam dadaku. Sebab setiap kali kemunculannya, berkali-kali pula tanpa
ku sadari senyumku merebak.
“Ah, haruskah ku teruskan? Atau ku sudahi sampai di sini?”
batinku.
Dari dalam lubuk hatiku, aku merindukan perasaan ini.
Merindukan hal-hal yang membuat hatiku berbunga-bunga. Entah kenapa, menatapnya
saja membuatku bahagia.
“ Ayolah Fatih, jangan kapok jatuh cinta,” aku terus terusan
menyemangati hatiku.
Sedikit demi sedikit, ku buka hati ini. Mencoba menerima
dengan keadaan hati yang masih luka. Lalu aku sadar, bukankah setiap orang
punya luka masing-masing? Bukankah setiap hati punya masa lalu masing-masing?
Aku semakin penasaran seperti apa luka hatinya, dan aku
semakin bertanya-tanya siapa masa lalunya. Mengapa dia menghampiriku? Mengapa
hatiku dengan mudah menerimanya? Mengapa aku berani mengambil resiko untuk
kembali terluka?
Oh Tuhan. Ku pasrahkan semua padamu, biarlah aku terluka
dalam keindahannya. Ku rasa tak mengapa, setidaknya izinkan kali ini aku
terlena, sekali lagi. Tersenyum dan terjaga hingga fajar menyapa.
Aku terlalu pasrah kali ini. Aku yang tak mengharapkan
apapun, dan ia yang tak pernah menuntut apapun. Bolehkan seperti ini Tuhan?
Bolehkan ku pilih dia saja? Apakah dia rasakan yang sama Tuhan?
Apa aku terlalu cepat
jatuh hati? Apa aku terlalu mudah jatuh cinta? Tapi mengapa jantungku selalu
berdegup kencang tiap kali melihat tingkah lakunya. Padahal tak ada hal apapun
yang ia lakukan. Tapi seakan aku selalu merindukan kehadirannya.
Aku bahkan terlalu pasrah. Saat ku serahkan rasa dan hatiku.
Padahal aku tak tau, mungkin saja bukan hanya aku pengisi hatinya, tapi dengan
bodohnya tak ku pedulikan semua itu. Bahkan jika bukan hanya aku, aku masih
menerimanya dengan lapang dada.
Entah lah, keindahan seperti apa dirinya, aku hanya
terus-terusan haus ingin bersamanya.