***
Sudah 3 hari sejak
aku datang ke dataran dingin ini. Aku akhirnya harus kembali ke kehidupanku
yang semestinya. Aku melirik ke luar jendela dari mobil yang melaju, berbelok
dan menanjak. Aku lalu menghubungi Aufa berkata padanya bahwa aku sudah
menyelesaikan pekerjaanku dan sekarang aku sedang mempersiapkan diri untuk
kepulangan Aufa. Di sebelahku, sebuah tas berisi bunga untuk Aufa, Edelweis
yang aku beli tepat di bawah kaki Neder. Untuk kesayangan. Wah, romantisnya
aku.
Di rumah, aku
menjatuhkan semua barang bawaanku. Aku langsung menyapa Mora kceil. Pet liter
dan makanannya masih tersusun rapi, pasti Jack baru saja selesai membersihkan
rumahku. Aku memeluk Mora, mengajaknya bicara sekedar tanya bagaimana
keadaannya saat aku tidak ada. Penatku rasanya hilang hanya dengan bermain
dengan Mora. Anak buluku.
Setelah mandi, aku
merebahkan diriku di kasur yang hanya cukup untuk aku seorang. Mora tidur di
sampingku, aku mengambil hp dan mencoba menelfon Aufa. Aku rindu wajahnya.
Beberapa kali aku coba menelfon, ia tidak menjawab.
“ Hei, lagi sibuk
ya,? Kataku melalui pesan whatsapp.
Tidak ada jawaban.
Aku menunggu sambil menghayalkan beberapa hal, hal baik hal buruk pekerjaan dan
lain sebagainya. Blip, pesan balasan dari Aufa masuk.
“ Hei, Sorry baru
balas. Maaf aku lagi ada sedikit tugas, nanti aku hubungi ya,” kirimnya
dengan emot love di akhir kalimat. Wah, itu cukup membuatku deg degan, senang.
“ Oh, ok. I’ll
wait. Hati-hati di sana ya,” kataku.
Aku lalu memutuskan
untuk tidur, menghilangkan semua penat yang menumpuk. Menuju pulau mimpi.
Tak terasa ternyata
malam ditelan terang yang merebak seketika tanpa ku sadari.
Krriinggg. Krriingg.
Alarm hp ku
berbunyi. Aku merabanya dan mengitip, 5:05 AM. Aku membalikkan badanku,
menghadap atap. Menarik nafas pelahan, menyentakkan badaku ke atas dan bangun.
Aku duduk sambil mengusap-usap mata. Ku lihat lagi hp ku. Lima panggilan dari
Aufa dan 3 pesan belum dibaca. Ternyata aku selelah itu hingga tidak sadar
bahwa ia menelfon ku. Aku membuka pesannya. Aufa memintaku untuk menelfonnya
semalam, mungkin dia menungguku hingga pukul 11:45 PM. Bisa-bisanya aku tidak
tahu.
“ Aufa, Sorry.
Semalam aku ketiduran dan nggak sadar kamu telfon, mungkin karena kelelahan.”
“ Kamu sudah bangun?
Jangan lupa shalat subuh ya,” ku akhirnya pesan dengan tanda love.
Aku lalu bergegas
bangun dan shalat subuh.
Hari ini Rabu, sisa
dua hari lagi sampai Aufa pulang kembali ke sini. Aku sudah tidak sabar
menunggunya. Mempersiapkan segala sesuatu, yang akan menjadikan pertemuan itu
berkesan dan takkan terlupakan. Selesai shalat aku langsung membereskan
barang-barang bawaanku. Bunga spesial untuk Aufa aku tata rapi agar tidak patah
atau gugur karena tertimpa. Syukurnya, Edelweis akan tahan untuk jangka waktu
yang lama, seperti julukannya, bunga abadi.
Sudah pukul 08:10
AM. Aufa belum membaca pesanku. Oh iya, aku baru ingat, pasti dia sudah pergi
berkegiatan lain, mengingat aku dan dia berbeda kurang lebih 2 jam.
“Mungkin dia lagi
sibuk, banyak tugas dari short course yang lagi diikutinya,” batinku.
Aku bergegas mandi
dan bersiap untuk menulis laporan kegiatan kemarin. Aku menjalani hari-hariku
seperti biasa. Mengunjungi basecamp, minum kopi sendirian, bertemu Jack
dan berterima kasih padanya sudah menjaga anak-anakku dan bekerja seperti
biasa. Tapi entah kenapa belum ada pesan balasan dari Aufa.
Aku mneyeruput kopi
di sampingku. Mengambil hp ku, dan melihat pesan yang ku kirim ke Aufa. Dia
online 30 menit yang lalu, tapi kenapa dia tidak mengabariku. Atau mungkin
terlalu sibuk. Apa aku belum menjadi prioritasnya? Atau mungkin memang terlalu
sibuk? Aku tidak tahu kondisi seperti apa yang sedang dialaminya.
“ Hei, sayang.
Jangan lupa makan ya, jaga kesehatan. Kalau sudah tidak sibuk, kabari aku,” ku
kirim pesan padanya.
Aku lalu membuka Instagram,
ternyata Aufa sempat membuat story, sekitar 2 jam yang lalu. Foto Sakura
dengan background Gunung Fuji, Aufa menulis caption “Tough Decition”.
Aku mengerutkan kening. Aku berfikir apa yang mungkin difikirkan. Tapi yang
lebih aku fikirkan, kenapa dia tidak mengabariku? Mungkin terjadi sesuatu, atau
mungkin dia marah padaku?
“ Hei, kamu marah
sama aku?” ku tulis komen di storynya.
Dia membacanya.
“ Fatih, maaf baru
balas pesan kamu. Aku lagi ada tour sama teman-teman di sini dan aku
juga ketemu teman lama, kebetulan dia sama keluarganya, ini aku lagi sama
mereka, nanti aku hubungi kamu lagi ya, sehat-sehat di sana,” balasnya.
Aku membacanya,
sedikit lega, tapi sedikit aneh menurutku. Apa mungkin Aufa menyembunyikan
sesuatu dari ku? Tapi semuanya segera ku tepis, mungkin memang benar dia sedang
sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.
Aku menunggu
pesannya seharian. Aku juga terus memberikan kabar padanya. Tapi hingga malam,
dia masih tidak memberikan kabar. Aku sedang menonton serial Netflix, menunggu
Aufa hingga larut malam, dan kebetulan kantuk belum menyapaku, lagi pula ini
masih pukul 11:10Am.
Blip.
Satu pesan dari Aufa. Muncul notifikasi di atas layah hp ku. aku
langsung membukanya.
“Akhirnya,” batinku.
“ Fatih, aku minta
maaf sebelumnya. Belakangan aku terlalu sibuk jadi aku jarang berkabar
denganmu. Aku juga rindu sama kamu, aku berharap bisa kembali ke sana dan kita
bisa duduk bareng sambil bercerita menatap senja bersama. Sayangnya, mungkin
hal itu tidak bisa lagi kita lakukan. Mungkin ini jelas kesalahanku, aku yang
tidak bisa memberikan keputusan apapun tentang hidupku. Aku yang terlalu cepat
jatuh hati padamu, semua karena sikap manismu padaku. Aku menyukainya Fatih,
aku menyukaimu. Sangat suka. Kamu mengembalikan senyuman itu padaku,
memperbaiki luka hatiku yang pada awalnya aku tidak tahu apakah bisa. Tapi
sayangnya, aku bukan orang yang tepat untuk mendapatkan perlakuan manismu itu,
aku tidak pantas mendapatkannya. Maaf. Mungkin setelah ini kamu akan
menganggapku memperlakukanku sebagai pelampiasan, tapi aku tak pernah menyangka
semuanya akan berakhir seperti ini. Aku fikir aku sudah melupakannya dan
menggantikannya denganmu. Nyatanya, aku tidak bisa membohongi hatiku, aku masih
memiliki rasa padanya. Mungkin kamu benar, ini bukan rasa cinta yang aku punya
untuknya, tapi rasa takut untuk mengenang masa indah. Dan aku berfikir, mungkin
aku akan kembali mengulang kisah bersamanya. Aku mengenalnya Fatih, dia sama
sepertiku. Mungkin kemarin adalah murni kesalahan yang ku buat dengan tidak
sengaja membawamu jatuh ke dalam jurang yang ku buat untuk menyelamatkanku.
Mungkin setelah ini, kita hanya akan menjadi teman, bilapun kamu masih mau
berteman denganku. Deri kemarin bertemu dengan ku di Tokyo, ia bersama
orangtuanya. Dan terjadi pembahasan bahwa ibunya ingin aku dan Deri kembali dan
berjalan ke jenjang yang lebih serius. Ibunya memohon padaku, aku menolaknya.
Aku bilang bahwa aku tidak bisa lagi kembali, tapi ia memohon hingga
menjatuhkan air matanya. Deri juga berjanji untuk lebih saling memahami. Aku tidak
tau harus bagaimana Fatih. Aku tau,
mungkin kamu berfikir bahwa aku cukup egois untuk melakukan semua ini padaku,
cukup kejam untukmu. Tapi inilah kenyataannya, akupun, tak ada yang bisa aku
lakukan selain mengorbankan perasaanku padamu, pada hubungan kita yang masih
sangat belia. Maafkan aku Fatih, aku selalu sayang kamu,”.
Aku membacanya perlahan.
Menghayal semua tulisan itu menjadi suara Aufa yang selalu aku rindukan.
Seseorang yang belakangan menghapus masa laluku. Kini berubah menjadi mimpi
buruk yang jauh lebih buruk dari yang ku fikirkan. Saat aku baru saja membangun
rumah baru, baru ku siapkan pondasinya, lalu dirubuhkan sendiri oleh orang yang
memintaku untuk membangunnya. Aku terdiam tak berkata, aku pun hanya menatap
tulisannya. Tapi perlahan pipiku basah, beberapa tetes air membasahi daguku dan
menetes jatuh. Aku meletakkan hp ku. tak membalas apapun. Aku hanya terdiam,
menyenderkan diri dan menatap ke arah dinding. Di meja itu, bunga untuk Aufa
sudah ku siapkan, lengkap dengan ucapakan romantisku untuknya.
“ Ternyata Edelweis
bukan lambang keabadian, karena takkan ada yang abadi selain rasa sakit,”
kataku.
Aku lalu merebahkan
diriku. Menghela nafas. Hp ku berdering, Aufa menelfon. Aku terisak.
***
Aku membuka mata.
Matahari sudah masuk dari celah jendelaku. Aku membalikkan badan, membentangkan
badanku ke arah atap. Mencoba berfikir apa yang terjadi semalam, mungkin mimpi.
Nyatanya, mimpi indah itu sudah berakhir dan kini aku terbangun dengan perasaan
hancur, lebih hancur dari sebelumnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Mataku
berat, seperti banyak sekali air tertahan di sana. Hp ku berdering. Jeri
menelfon. 10 Panggilan tidak terjawab, 8 dari Aufa. 7 jam yang lalu.
Aufa mungkin sudah
berada di pesawat sekarang. Hari ini jadwalnya kembali. Tapi aku peduli apa?
Dia tidak butuh aku lagi. Aku bukan lagi sesiapanya. Lukanya kini hilang,
ditutup dengan kenangan lama sebelum luka. Sedang aku, aku harus menyembukan
ini sendiri, tanpa sesiapapun yang tahu. Bahkan siapa yang tahu bahwa luka lama
pun menyembur keluar.
13:45PM. Pesawat
penerbangan dari Tokyo baru tiba. Aufa keluar dari pintu kedatangan bersama
beberapa temannya. Aufa melirik ke kiri dan ke kanan. Entah siapa yang
diharapkannya muncul. Teman-temannya lalu mendahului, Aufa berdiri menunggu. Mengerluarkan
hp dan menghubungi seseorang.
“Aufa,”
Aufa menoleh ke
belakang. Ia terkejut melihatku muncul di belakangnya. Aku tersenyum ke
arahnya. Aufa hanya diam, membalas dengan wajah kasihan.
“ Jangan sedih, jangan
mengasihaniku begitu,”
“Alhamdulillah kamu
sampai dengan selamat.” Kataku menahan rasa dalam dada.
“ Kamu di sini Fatih?
Tapi kamu tidak marah padaku?” matanya mulai berkaca-kaca.
“ Kenapa aku harus
marah? Aku bahkan tidak punya waktu untuk itu, semuanya terlalu singkat. maaf
aku tidak membalas pesanmu. Aku tidak tahu harus apa, tapi aku ke sini cuma mau
kasih ini, Aku senang kamu kembali,” aku
menyerahkan Edelweis yang sudah ku rangkai sendiri pada Aufa, ia menerimanya
dan membaca tulisannya yang ada di sana.
“
Yang abadi akan selalu abadi, yang tak abadi hanya bisa kita nikmati sesaat
sebelum semuanya kembali pada yang seharusnya, takkan ada keindahan yang abadi
tapi buatku mungkin aku akan mengabadikanmu,”
“ Aku ke sini hanya
untuk menepati janji bahwa aku akan menjemputmu di bandara ketika kamu pulang.
Tapi maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang. Sama seperti hubungan kita takkan
ada yang bisa kita bawa pulang, karena aku bukan rumahmu, dan kau pun bukan
lagi rumahku. Kita dipertemukan hanya untuk saling mengobati hati. Terima kasih
sudah mengobati luka lamaku, dan kini aku punya luka baru di sana.”
Aufa hanya diam dan
menangis menatapku.
“ Hei, jangan
menangis. Aku yang salah, aku yang mencoba menjadi sosok itu. Tanpa sadar aku
bukan orang yang pantas bersanding denganmu. Sakit memang, tapi tenang, kamu
bukan dendamku. Kamu pengajaran agar aku tidak lagi mudah jatuh hati. Tidak
mudah percaya pada luka dan juga senyum ceria yang bisa berubah kapan saja.
Kamu selalu bertemoat dihatiku, entah di sebelah mana nantinya, tapi aku selalu
berharap kamu mendapatkan kebahagiaan seperti yang kamu inginkan, yang
seharusnya,”.
“ Fatih, aku minta
maaf,”
“ Tidak ada yang
perlu dimaafkan. Kamu tahu, inilah hidupku. Sebatas pujangga perangkai kata.
Kesalahanku, aku terlalu berani untuk mencoba memiliki pemeran utama dalam
setiap tulisanku, padahal aku tau pemeran utama itu selalu ada pangeran yang
menunggu di akhir cerita, dan aku hanya akan menjadi penulis jalan cerita.
Aufa, kamu selalu menjadi hal berarti dalam hidupku, semoga kebahagiaanmu abadi
bersamanya, seabadi Edelweis di musim dingin, aku pamit,”
Aku meninggalkan
Aufa sendiri, berdiri terpaku dengan bunga di tanganya. Air matanya terus
bercucuran. Tapi aku bisa apa? Hatiku juga menangis lebih dari seharusnya,
harusnya aku membencinya kan? Bukan justru memberikan selamat. Aku justru
mengutuknya karena memberikan luka yang lebih sakit dari hanya sekedar tidak
dimengerti, bukan memberikan bunga dan berharap bahagia. Aku terus berjalan.
Menatap ke depan. Aku sadar, bahwa aku selalu ingin menjadi pemeran utama dalam
hidupku, tapi ternyata pemeran utama tak selamanya bahagia, film romantis tak
selamanya berakhir manis, terkadang penulis ingin membuatnya menangis, terluka,
terpuruk dan berakhir tragis. Dan di sinilah aku, di pemberhentian selanjutnya,
menunggu seseorang yang hanya akan sekedar singgah dan pergi setelah berlalu
resah.
***THE
END***