Break Up Before Meet Up (Part 2)

Break Up Before Meet Up (Part 2)

 


***

Aku duduk di pojok depan pintu masuk café ini. Jangan heran kalau kerjaku selalu di café, karena bagiku ini menjadi salah satu dukungan ku kepada pemerintah dengan ikut memajukan ekonomi masyarakat.


Jariku terus menari di atas keyboad laptop yang berlogo buah yang digigit setengah ini. Aku sedang menyiapkan naskah riset awalku tentang Singkil. Sesekali ku buka google untuk mencari referensi lainnya tentang pantai di sana.


Tak ada sesiapapun yang akan mengisi kursi kosong di samping atau pun di depanku saat ini. Hari ini aku memang menyempatkan diriku untuk sendiri duduk di sini sambil menyelesaikan pekerjaan.


Di sela-sela menulis, aku sempatkan membaca chat whatssapp ataupun sekedar membuka Intagram untuk melihat video Taylor Swift yang sliweran di FYP ku. Karena terlalu sering menyukai videonya, jadi google mendeteksi bahwa aku suka videonya, dan ya, nilai 100 buat Google yang sudah mempermudah aku mendapatkan video TS.


Sedang asik bermain dengan Handphone, pesanan ku datang. Kali ini Nira Espresso. Aku sedang ingin sesuatu yang segar dan sedikit berat karena harus terus membangunkan ide di kepalaku. Rasa dan aroma dari nira mungkin bisa sedikit menyegarkan tenggorokan dan merelaxkan punggungku yang agak kaku, dan kopi mungkin bisa membantu mataku untuk terus terbuka, ku rasa begitu.


Tak terasa sudah hampir lima halaman terisi dengan coretan ku. Aku rasa cukup untuk tulisan ini. Aku akan mengirimkannya lebih dulu kepada teman ku yang lain selaku koordinator dalam perjalanan ini.


“Oke, done,” gumamku.


Ku kirimkan email padanya, baru saja terkirim dan aku merasa lega. Akhirnya hanya tinggal menunggu persetujuan dan kami akan langsung berangkat. Tunggu aku, di ujung pantai Singkil.


Setelah merasa puas, aku pun menutup laptop. Menghabiskan sisa minuman nikmat ini. Ahh, tidak menyesal aku memesannya, memang favoritku.


Aku pun memasukkan semua peralatanku ke dalam tas cokelat berbahan kain lee kesukaanku. Dia memang lebih kokoh menampung beban ku yang selalu tak kurang dari 5 kilogram setiap hari. Jika bisa bicara mungkin dia sudah meminta ampun.


Aku pun bangun dan memperhatikan isi mejaku, tak ada yang tertinggal. Lalu ku perhatikan seisi ruangan, satu, dua, pojok kanan dan ujung tengah. Perempuan yang sedang duduk sedirian dan tak ada yang datang, sudah ku perhatikan dari tadi. Tapi tak seperti dia yang ku perhatikan dengan rasa penasaranku.


Aku pun beranjak, berjalan menuju kasir.

“Berapa bang,? ” tanyaku pada kasir.

“Meja satu ya bang, nirapresso satu sama kentang goreng original, 25 ribu bang,” kata kasir.

“Bang sekalian sama punya kakak yang sedirian di sana dan di sana berapa,?”

Aku menunjuk ke arah perempuan yang duduk sedirian, ada dua perempuan yang sepertinya masih mahasiswa dan satunya lagi agak lebih dewasa, mereka duduk sendirian.

“ Mau dibayarin sekalian bang,?” tanyanya.

“Iya, sekalian aja bang,”

“Totalnya jadi 135 ribu bang,”

“Oke, sebentar,”


Aku merogoh kantong celana belakangku dan mengeluarkan dompet bermerk CK berwarna coklat. Ku keluarkan dua lembar uang merah bertuliskan 100 ribu rupiah dan ku serahkan ke kasir.


“Kembaliannya 65 ribu ya bang, ini,” ia menyodorkan uang pecahan Rp 50 ribu, Rp 10 ribu dan Rp 5 ribu.


“Oke terima kasih bang, oh iya ini kasih ke mereka aja entar struk pembayarannya. Makasih ya bang,”


Aku pun pergi, ku ambil topi yang ku sangkutkan di samping tas dan ku letakkan di atas kepalaku. Aku sedikit menutupi muka, berharap mereka tidak melihat ketika aku menunjuk ke arah mereka tadi.
Sudah menjadi kebiasaan burukku, aku selalu membayar setiap orang yang duduk sedirian dalam waktu yang lebih lama dari yang aku habiskan. Sama seperti perempuan itu, andai saja aku bisa bertemunya sekali lagi. Tapi apakah aku berani berbicara dengannya?

 

***

Kring, kring. Alarm handphone ku berbunyi. Aku meraba untuk meraihnya. Ku intip dengan sebelah mataku, pukul 5:30 am. Ah, sudah subuh rupanya. Ku balikkan badanku menghadap atap kamar tidur ku. Lalu Mora kecil datang dan membangunkaku dengan menjilati mata dan hidungku. Kucing calico kecil ini baru berusia tiga bulan, sering sekali menganggu tidurku hanya untuk mencari kenyamanannya. Tapi aku suka dia, dialah semangatku menjalani hari esok ketika lelah saat petang datang.


Aku bangun. Duduk dipinggir kasur seperti memanggil roh ku datang sepenuhnya memasuki diri. Aku bangun dan menghidupkan keran air di dinding kamar. Menuju kamar mandi sambal menguap sesekali. Aku basuh muka ku sambal bercermin, ‘masih tampan meski baru bangun tidur,” gumamku.


Aku memang suka memuji wajahku yang ku fikir tidak terlalu buruk untuk seorang perjaka muda yang juga pujangga. Jenggot tipis ini justru menambah manis wajahku. Ah, aku terlalu memuji rupaku, aku bersyukur Allah menganugerahiku wajah ini, meski hingga kini belum ada perempuan cantik dan anggun yang mengandeng tanganku. Aku pun menganggat tangan kananku, melihat kalau-kalau jari-jari ini sudah bersarang laba-laba. Ah, sudah lah.


Aku berwudhu dan bergegas shalat subuh ke masjid. Aku masuk kamar dan memakai celana panjang serta peci yang trsangkut di paku dinding.


“Pergi dulu ya dek,” ucapku pada Mora kecil.


Mora memang sudah kuanggap sebagai anak ku, anak bulu. Aku mengambil kunci motor Nmax ku dan menuju masjid yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah. Langit masih gelap dan sedikit berawan. Hawa dingin sudah tentu membangunkan bulu kudukku. Angin pagi ini dengan cepat mengeringkan wajahku yang basar karena air wudhu.


Brrr, aku sesekali menggigil. Angin pagi ini sedikit kencang, seperti memukul-mukul tumbuhan rumput obor yang menjulang tinggi di rawa samping jalan ini, bahkan orang mungkintidak sadar bahwa ini adalah rawa. Kalaulah bukan karena mengejar dua rakaat yang lebih baik dari dunia dan seisinya, untuk apalagi aku korbankan tidur pagiku.


Pagi itu jamaah tidak terlalu ramai. Hanya satu saf lelaki dan hanya ada dua orang ibu-ibu di saf perempuan. Hanya segini orang-orang yang mengejar akhirat dengan mendatangi rumah Allah di pagi buta. Semoga aku salah satu yang mendapatkan syafaatnya dihari kelak.


Aku memulai dua rakaat ku di samping seorang bapak-bapak berambut putih yang sudah sujud di rakaat keduanya. Hari ini aku hanya memakai baju kaos oblong bertuliskan pujangga di depan. Ya aku memang sering mempromosikan diriku sebagai pujangga yang memuja kata. Kemanapun aku pergi tepatnya.


Jamaah subuh kali ini lebih indah dari biasanya. Hari ini ada seorang Qari nasional yang menjadi imam shalat, beliau sudah sering menjadi imam di beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei. Wah, beruntung sekali memiliki suara bagus dan bacaan yang fasih, sedangkan aku hanya memiliki suara pas-pasan yang enak untuk didengar sendiri di kamar.


Selesai shalat, aku langsung turun dari masjid dan pulang. Hanya menyalami beberapa orang tua di sana. Aku memang kurang berinteraksi dengan mereka, karena aku memagn bukan tipe yang suka berinteraksi, bukan berarti aku anti sosial, hanya tidak terlalu mau berlama-lama untuk orang-orang baru. Lebih tepatnya aku ambivert, 30 persen extrovert dan 70 persen introvert, you know lah. Entah pun mungkin aku termasuk INFP?, bisa jadi. Bagiku jika bisa untuk tidak berinteraksi lebih baik.


Akhirnya pagi ini aku mulai dengan cerita perjalanan ku ke Singkil. Perjalanan mengintari sejarah yang pasti akan berulang.

***

Aku kembali ke kehidupanku. Menyapa Mora yang ku tinggal dengan beberapa temannya di rumah. Aku minta bantuan Jack untuk menjaga mereka selama aku pergi. Mereka pasti merindukanku, terutama Mora kecil. Ia langsung mendekatiku untuk minta dimanjakan. Ah, anabulku. Kau selalu mencuri hatiku, melunturkan semua penat ini.


Oh ya, aku ingat. Ini hari Selasa. Tidak terasa sudah 3 hari aku pergi. Hari ini aku akan kembali ke cafee senja, membuktikan perkataanku pada diri sendiri yang ku tujukan padanya. Aku berharap dia akan peka. Atau kepekaan itu hanya dalam diriku saja yang terlalu ambisius dan percaya diri.


Setelah istirahat dua jam lebih. Aku bergegas bangun dan bersiap-siap pergi. Menyelesaikan semua tugasku yang sudah terkendala beberapa hari lalu.


Pukul 11:30 am, ku rasa ini waktunya untuk Cafee Taria. Menepati janji dengan Jack dan membuktikan diri kebenaran dan kesalahanku. Aku memacu motorku menuju Café Taria, sekitar 15 menit dari kantor ku. Dalam hatiku ternyata mengandung sedikitnya 40 persen harapan bahwa dia akan datang dan mendengar janji pertemuan itu. Seperti biasa ku jemput dulu Jack dari tempat ia mengais pundi-pundi uang hariannya. Lalu kami bersama menuju tongkrongan keramat kami,  aku dengan harapan, Jack dengan kelaparan.


Kami pun sampai dan aku mulai merasakan detak jantung tak karuan.


“Hei, relax man,” batinku.


She’s nobody right?, kenapa harus deg degan juga, aku merasa seperti murahan,” aku membatin dalam diriku. ‘


Aku memarkirkan motor ku, membuka helm hitam di kepalaku dan meletakkannya di spion kananku. Sudah kebiasaan ku. Jack langsung berjalan masuk dan melihat lokasi duduk yang lebih nyaman. Kali ini tidak di tempat biasa, tempat favorit, tapi di dalam, di lokasi yang sama tempat aku melihat perempuan itu. Di tempat aku melihatnya pertama kali dan jatuh hati. Bukan jatuh hati, tepatnya aku penasaran dan ya, penasaran.


“Di dalam aja ya?,”tanya Jack.


“Boleh,”. Tangan ku mulai dingin, tapi ku perhatikan tak ada seorang perempuan yang duduk di kursi itu. Kursi yang dia pernah tempati. Mungkin dia duduk di kursi lain? Aku melihat ke sana dan kemari, aku bahkan tidak lagi mengingat wajahnya.


Aku duduk, sambil memperhatikan sekitar. Berharap dia akan ada disuatu tempat di sana. Aku perlahan memperhatikan sekitar agar Jack tidak sadar aku sedang mencari seseorang.


“Tih, Fatih, kamu pesan apa,” kata Jack.


Aku terkejut, aku tak sadar bahwa menu sudah ada di meja.


“ Ee, aku pesan orange squash aja,” kataku mengasal. Karna hanya itu yang tergambar di kepalaku.


“Tumben, gak minum kafein?,” tanya Jack.


Nah, I feel like I don’t need it now,” jawabku.


Jack menerima jawabanku dengan bahasa tubuhnya. Aku masih berharap dia ada di sini, datang dan mendengar janjiku, nyatanya benar. Hanya aku dan perasaan ku saja yang berharap demikian. Aku pun menghela nafas dan mencoba melupakannya, cukup ku kenang dalam setiap tulisanku.


Aku memang bukan tipe orang yang suka ambil pusing, walaupun sebenarnya harapan ku besar. Tapi sudahlah, lupakan semua, masih banyak yang bisa aku jadikan karakter utama dalam setiap tulisanku kan, toh, ini juga bukan kali pertama aku jatuh hati.


Aku pun mecoba melupakannya. Memulai percakapan dengan Jack seakan-akan tidak terjadi apa-apa hari itu.


“Jadi, buku apa yang udah kamu baca minggu ini,?” tanyaku padanya.


“Em, aku lagi baca buku How to not die alone. Ahaha it’s weird huh,? At least aku tahu bagaimana harus memulai dan paham perempuan itu makhluk seperti apa,” jelasnya.


“ Not bad I think, setidaknya kamu mencoba dari mempelajari makhluk paling abstrak di dunia ini, hahaa,” Kami berdua tertawa.


Ya, mereka memang abstrak. Tak bisa dibayangkan. Tapi aku tahu kenapa Tuhan menciptakan mereka seperti itu, agar laki-laki seperti ku bisa terus mengagumi mereka dan mempelajarinya hingga nanti aku menemukan kembali yang sesuai denganku, yang bsia saling memberi dan menerima. Ya, aku memang pernah jatuh sekali, jatuh yang paling dalam, yang bahkan aku fikir takkan pernah bisa keluar dari palung itu. Nyatanya, seseorang menarikku dari sana. Dan di sini lah aku, menjadi diriku sendiri tanpa sesiapapun dan terus menulis untuk menyalurkan hasrat terpendam. Ups, tunggu dulu. Aku bukan tipe orang cabul, aku takkan berani menyentuh atau bahkan membayangkan yang bukan-bukan. Ideku tidak seliar itu, bagiku itu hanya akan menodai diriku sebagai pemuja senja, kecuali aku merasakannya sendiri. Hei, come on. Setidaknya aku pernah merasakan kehangatan kecupan Wanita di hidupku. Dulu sekali. Aku mungkin takkan membahasnya, tidak di sini.


Aku dan Jack ke kasir. Kami biasa membayar makanan kami masing-masing, tapi kali ini aku yang akan membayarnya.


“Berapa bang,? Kataku.

“Rp 65 ribu semuanya,”

“Oke, ini bang,” aku serahkan uang Rp 70 ribu.

“Nih bro,” Jack menyerahkan uag Rp 50 ribu padaku.

“That’s oke, the bill is on me,” jawabku.

“ Hohoho, You’re the best bro, thanks a lot Fatih Almulki, besok lagi ya, hahaha” katanya menggodaku.


Aku hanya tersenyum dan ku suruh Jack menunggu di parkir.


“Bang, sekalian bayar yang sana sama yang sana ya,” kataku menunjuk ke arah perempuan yang duduk sendiri. Satunya di sudut kanan menghadap ke depan dan satunya di sebelah kiri.

“Kawan abangnya juga,?” tanya kasir.

“ Em, oh enggak, gak papa kasihan aja duduk sendirian, biar sekalian aja,” kataku.

“ Oh, oke. Totalnya jadi Rp. 124 ribu bang,”


Aku merogoh saku celanaku, uangku kurang.

“Scan aja ya bang,” pintaku. Abang kasir hanya mengiyakan.

Setelah selesai aku langsung menyusul Jack ke parkiran dan pergi.

---

Masih ada satu part lagi gaes, ditunggu Jumat depan yoo.. 

2 komentar

  1. Murah hati sekali abang ini,asik² traktir cwek²

    BalasHapus
  2. Sama penasarannya kayak nungguin anime, seminggu sekali :(

    BalasHapus