Break Up Before Meet Up (Part 3)
Cerpen
***
“Hufft.. Hari yang
cukup melelahkan,” gumamku sembari mengangkat tangan ke atas meregangkan
otot-otot tubuhku yang sudah kaku. Kretek, kretek, beberapa tulangku
berbunyi saling bersentuhan.
Entah kenapa
beberapa hari ini aku menjadi sangat aktif menulis. Mungkin karena aku sedang
jatuh cinta. Ya, seperti biasa. Aku kembali menjatuhkan hatiku kepada bidadari
yang sudah pasti takkan bisa ku gapai. Jangankan untuk bertemu dan berkenalan,
jarak kami bagaikan langit dan bumi, begitu juga kedudukan. Bagaikan punuk
merindukan bulan. Begitulah cinta pada sosok idola. Tentunya dia diidolakan
siapapun dan aku selalu menjadi salah satu dari ribuan bahkan jutaan manusia
yang menunggu sebuah postingan baru darinya. Mungkin jika aku adalah pangeran
Arab dengan segudang uang di rekeningku, saham hampir di seluruh dunia dan naik
turun super car masih memiliki peluang bagiku untuk diliriknya. Tapi nyatanya, aku hanya seorang pemuja.
Pemuja keindahan. Sangat indah mencintainya dalam diam, dengan kata, tanpa ada
sesiapapun yang tahu, hanya aku dan Tuhan.
Aku menarik nafas.
Menggaruk jenggot tipisku yang mulai memanjang. Dengan kedua telapak tangan, ku
tarik rambut di wajahku ke atas. Aku menghela nafas. Menompang dagu dengan
kedua tangan dan membaca kembali apa yang aku tulis. Ahh, aku sudah gila. Aku
lelah.
Aku mengambil smart
phone dan membuka Instagram, lagi-lagi wajahnya muncul dan membuat hatiku
berdegup kencang, padahal aku lihat dia sedang beradu acting dengan
lawan mainnya. Tapi tetap saja, aku membayangkan seandainya itu aku. “I’ll
treat you better, and I can love you more than this,” gumamku.
Braakk. Aku melempah
hp ke atas meja. Menghela nafas dan menghempaskan badanku ke kursi. “Sudah
cukup, Fath, cukup,” batinku.
Ku tutup laptop ku,
memasukkan semua barang ke dalam tas dan bergegas ke kasir. Aku merasa cukup lelah,
lelah menjadi pemuja bayangan senja. Aku beranjak ke kasir, tas punggung ku
hanya ku gantung di baku kanan, lumayan berguna untuk membuat bahuku sakit dan
pegal.
“ Udah mau pulang
bang,?” tanya laki-laki di kasir.
“ Ya, udah selesai.
Berapa bang,?” sambil melihat sekeliling, kalau-kalau ada yang sedang
sendirian. Tak ada.
“ Ni bang, sudah
dibayar,” sambil menyodorkan bill.
“Ha,. Udah di bayar?”
aku terkejut. Mengambil bill, melihat sekitar, ke kiri dan kanan.
“ Kapan dibayar?
Siapa yang bayar bang?”
“Tadi ada cewek
datang, pesan minuman untuk dibawa pulang terus dia bilang sekalian bayar punya
abang, katanya abang temennya dia, bukan ya?”
“ Teman?” aku
bergumam dan merasa penasaran, siapa yang membayar. Perasaan aku tak melihat
siapapun yang ku kenal, atau karena aku terlalu fokus menulis, ditambah dengan headset
yang terpasang di telingaku, tapi aku sedang tidak mendengarkan musik.
Aku melamun memikirkannya.
Aku bergegas pergi dan keluar, kalau-kalau masih ada perempuan tadi di luar.
“ Udah lama belum
bang dia pergi,? Pakai baju apa,? Tanyaku penasaran.
“ Belum terlalu lama
sih, tapi kayaknya udah pergi bang, coba cek aja dulu. Baju hitam jilbab motif
bunga deh kalo enggak salah”
Aku bergegas keluar
dengan cepat. “Jilbab bunga.” Aku mencari sekeliling, tidak ada. Tanpa
memaksa diriku, akupun menyerah dan pergi menuju Spidey. Sambil tertunduk, berjalan,
berfikir, ku angkat kepalaku, lalu di depanku, perempuan baju hitam jilbab
motif bunga. Berjalan melewatiku dan menatapku, tersenyum dan berlalu. Deg.
Hatiku lemas. Sepertinya aku kenal.
***
Aku melirik ke arah
jam dinding. 16:00 PM. Masih cukup untuk menyelesaikan rapat yang sedikit lagi
kelar.
“ Jadi Fath, abis
ini langsung kita selesaikan anggarannya ya,” kata Fikri.
“ Aduh Fik, ntar
malam aja boleh, aku ada janji ni, kebetulan abis ashar aku langsung
berangkat.”
“ Nah kah, udah
jangan dulu pacaran lah, selesaikan dulu anggaran ini baru pergi.”
“ Tau dari mana aku
mau pacaran? Aku udah janji sama temen,” terangku pada Fikri.
“ Temen tapi demen
ya, kalau gitu kita selesaikan nanti malam ya.”
“ Okee siip. Aku
shalat dulu.”
Aku membereskan
barang-barang ku dan pergi ke toilet untuk berwudhu. Aku tidak menyangka
ternyata aku akan bertemu dengan perempuan yang baru saja aku kenal kemarin.
Meskipun sempat berbalas pesan whatsapp aku merasa dia perempuan yang
menarik. Tak ku sangka ternyata dia adalah salah satu perempuan yang pernah aku
bayar minumannya karena sering duduk seorang diri. Ya, mungkin seperti itulah
Tuhan mempertemukan aku dengan jodohku. Ha? Jodoh? Diakah? Tapi aku seperti
tidak asing dengannya.
Selesai shalat aku
langsung bergegas menuju sebuah café truck di pinggir pantai. Ya, kami
janji bertemu hari ini. Hanya sekedar mengobrol karena dia yang ternyata
seorang mahasiswa komunikasi sedang mencari narasumber untuk dijadikan tulisan.
“Aku sudah sampai,”
tulis ku melalui pesan Whatsapp.
Tiba-tiba sebuah
mobil terparkir di samping ku, perempuan itu keluar, itu dia. Dia melanbaikan
tangan ke mobil yang tadi menurunkannya.
“ Hei,” kataku.
“ Hai, udah lama?”
“ Baru sampai juga,
baru kabarin kamu kalau aku udah di sini,” jelasku.
“ Oh, aku enggak
tau, belum pegang handphone sih,”
Dia duduk di depan
ku. Kami berhadapan. Agak canggung rasanya bagiku. Orang yang baru aku kenal,
merasa janggal, karena jarang sekali aku duduk berduaan dengan seorang
perempuan, cantik pula.
“ Jadi, gimana? Udah
ngopi di mana sebelum ini,?” Dia menyerang dengan pertanyaan.
“ Hari ini cuma
sebentar di daerah Elde sih, karena ada rapat mendadak.”
“ Jadi ada berapa
orang yang kamu bayarin hari ini,?” tanyanya lagi.
“ Ahaha, hari ini
kebetulan belum ada sih, mungkin orang-orang udah gak suka ngopi sendirian kali
ya?,” aku merasa lucu, dia mengetahui aku.
Bagaimana tidak, ternyata sebelum pertemuan lalu, dia sudah memergoki ku beberapa kali membayar minuman orang lain. Wah, aku sampai tersipu saat dia menjelaskan semuanya dari pesan Whatsapp.
Ternyata ada perempuan yang memperhatikanku.
“Oh ya, kamu sering
ke Café Taria,?” tanyaku.
“ Enggak sering sih, cuma dua kali, yang
kemarin pas ketemu kamu itu kali keduanya aku ke Café Taria,” jelas perempuan
yang ternyata bernama Aufa.
“ Ohh, sebelumnya
pergi sama temen ke sana?,” serangku lagi.
“ Sendiri juga, yang
pertama aku ke sana ngerjain tugas sendirian, duduk di pojokan gitu. Hufft,
rishi sebenarnya sendirian, apalagi ada cowok-cowok di depan aku, terus aku
lihat dia curi-curi pandang gitu, gak nyaman sih jadinya.”
Sendirian? Ngerjain
tugas? Cowok ngelihatin? Aku bertanya-tanya.
“ Kalau boleh tau,
itu kapan,?”
“ Emm, kayaknya
bulan lalu deh.”
“ Hari Jumat gak,?”
tanyaku sigap.
“ Iya deh kayaknya,
karena waktu itu aku enggak bayar minuman, katanya gratis hari Jumat,”
Aku berfikir keras.
Jumat, laptop, tugas, laki-laki yang mencuri pandang, jangan-jangan dia wanita
yang waktu itu aku perhatikan. Dia menjadi rishi karena aku. Pantas saja dia
tidak pernah datang lagi.
“ Eii, kok diam,?”
Aufa mengagetkan lamunanku.
“ Eh, enggak aku
lagi mikir sih,”
“ Mikir apaan,?”
“Emm, Aku berfikir
kayaknya laki-laki yang lihatin kamu waktu itu aku deh.”
“ Ha, kamu? Kok
bisa,? Emang kamu di sana waktu itu,?”
Aku menjelaskan
semua pada Aufa. Percakapan aku dan Jack tentang dia dan juga tentang dirinya
yang menjadi topik utama dalam tulisanku setelah pertemuan itu. Aufa terlihat
sedikit heran dan tersipu malu. Dia tersenyum mendengar ceritaku.
“ Waah, jadi
penasaram. Mana tulisannya? Boleh aku lihat,?” pintanya.
“ Eh, mana boleh.
Rahasia,”
“ Boleh dong, itukan
tentang aku, jangan-jangan kamu nulis tentang aku yang bukan-bukan,”
“ Enak aja, aku
bukan laki-laki buaya, ya setidaknya bukan buaya rawa,”
“ Hahaha, terus kamu
buaya apa? Buaya bunting,?”
“ Buaya air asin
dong, jarang ditemukan, tapi sangat mematikan,”
“ Ihh, ngeri dong,
haha”
Kami tertawa dan aku
tetap tidak menunjukkan tulisanku padanya. Ternyata dia asik, seasik wajahnya
jika ku pandangi. Ahh, rasa ini datang lagi.
***
Blip. Satu pesan
masuk. Aufa.
“ Hei pengermarku,
kamu udah bangun,?”
Aku membacanya. Lalu
membalas pesan itu sambil tersenyum.
“ Wah, pagi-pagi
udah kasih aku nama panggilan baru ya,”
“ Hihihi, biar lebih
seru aja sih,”
“ Oke, bisa
diterima,” balasku melalui pesan.
“ Baru bangun ya,?”
tanya Aufa.
“ Enggak dong, aku
kan morning person, ini lagi ngopi di warkop bareng Jack. Kebetulan hari
ini lagi free lagi pengen nongkrong aja, kamu udah sarapan?”
“ Ohh, gitu, belum
sih. Sebentar lagi kayaknya”.
“Mau aku anterin
makan?” tawarku.
“ Emm, gak usah
nanti aku makan, sebenter lagi,”
“ Oke, okee, hari ini
kamu ada ke mana? Nggak ada rencana ngopi sendirian? Kabarin yah, biar aku
bayarin, hahah,” godaku padanya.
“ Hihi, boleh dong,
aku ngopi deh kayaknya entar sore di Isli,”
“Oke, see u soon
yak,”
Aku terus menatap hp
dan tersenyum, Jack yang sedang menyantap lontong paginya merasa aneh
melihatku.
“ Oi, senyum-senyum
dari tadi, udah ada yang baru,?” serangnya.
Aku menatapnya dan
berpura-pura tidak tersenyum.
“ Ha? Mana ada, ini
kawan ntar sore ngajak ngopi,”
“ Cewek apa cowok?”
tanya Jack.
“ Cewek wak,” aku
tersipu
“ Sudah ku duga,
coba liat fotonya,?”
Aku memperlihatkan
fotonya pada Jack.
“ Cantik tuh bro,”
katanya.
“Eh Jack, ingat
nggak waktu kita duduk di Café Taria, terus ada cewek di depan kita dan kamu
bilan cewek itu cantik,?”
“ Yang mana?
Perasaan semua cewek emang cantik deh,”
“ Aduuh, ada wkatu
itu kebetulan aku liatin dia terus tiba-tiba dia juga ngeliat aku, jadi kami
saling tatap-tatapan, nggak lama sih, sekitar 1,5 detik gitu, terus aku makin
penasaran sama dia, eh ternyata Aufa adalah cewek itu bro,” aku menjelaskan
pada Jack dengan menggerak-gerakkan tanganku ke sana ke mari.
“ Seriusan bro? Wah,
lucky banget lu bro, jadi gimana? Udah jadian?”
Pertanyaaan Jack
lalu menyadarkanku. “Bener juga ya, apa dia enggak punya pacar? Atau dia
mungkin punya pacar, terus siapa yang mengantarnya tempo lalu?”.
Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di kepalaku. Bodohnya aku, aku dengan mudah
menaruh hati hanya karena balasana kecil dari rasa jatuh hati.
***
Sore tiba. Aku tiba
lebih dulu. Celana cargo hijau lumut dan kaos tertutup jacket hitam membalut
tubuhku sore ini. Sambil duduk, ku letakkan Sling Bag bertuliskan CK di atas
meja putih plastik itu. Aku melirik ke sekitar, lalu kutarik rambut ku yang
agak panjang dan hampir masuk ke mata. Ku tarik ke belakang dan sedikit
mengibasnya. Aku membuka tas, ku keluarkan hp. Lalu, plak. Tepukan kecil
di belakangku mengejutkan. Aku menoleh ke kiri, Aufa sudah menyapa dengan
senyumannya dan berjalan ke hadapanku. Menarik kursi, meletakkan tas dongkernya
dan duduk. Aku membalas senyumannya.
“Udah lama nunggu?”
sasarnya.
“Belum, baru nyampe
juga,” kataku.
“ Belakangan kita
kayak makin dekat ya, aku ngerasa kamu seru sih. Aku jarang banget ngopi cuma
berdua gini, apalagi sama cowok yang baru aku kenal. Tapi sama kamu, beda aja,”
ucap Aufa blak-blakan. Jantungku rasanya hampir berhenti berdekat setelah satu
degubpan keras. Aku hanya terdiam mendengar Aufa mengatakannya. Aku berbeda?
Apa aku spesial? Apa boleh lebih dari sebatas teman seru? Tidak-tidak, apa yang
aku fikirkan.
“ Iyakah? Kamu juga
orangnya asik sih, kalo aku lihat kamu adalah tipe cewek yang memberikan
kecerian bagi orang-orang sekitar. Aku juga jarang banget duduk berdua sama
perempuan, kecuali pacar raku dulu,”
Aku memulai
membicarakan masa lalu. Mungkin ini bisa memancingnya untuk menceritakan lebih
tentang kisah cinta yang dia miliki tanpa harus bertanya terang-terangan.
“ Waahh, jadi kamu
dulu punya pacar? Sekarang gimana?” Aufa bertanya penarasan.
Aku menjelaskan
semua pada Aufa. Bagaimana pertama kami bertemu, menjalin hubungan hingga
akhirnya memutuskan untuk menjalankan hidup masing-masing. Aku ingat bagaimana
aku sangat terpuruk ketika hubungan bertahun-tahun itu harus pupus di tengah
jalan tanpa alasan yang benar-benar logis.
Aufa mendengarkan ku
dengan seksama. Matanya menatap ke arahku dengan lumat. Seakan ia mencari
sesuatu di mataku. Gilanya, pancaran matanya yang indah itu seakan menusuk hatiku.
Aku bahkan lupa bahwa aku sedang jatuh hati dengan tokoh publik yang kini sedang
digemari kaum adam. Aku justru terus terjerumus dalam permainan indah yang
dibangun Aufa untuk ku. Ia menuntunku seakan memasuki ruangan penuh bunga nan
indah dan harum. Ohh, tidak, aku terjebak!.
Aku tiba-tiba
terdiam dan hanya menatapke arah Aufa. Aufa melambaikan tangannya ke mukaku.
Aku tersadar.
“ Tih, Fatih, kamu
melamun?” tanya Aufa.
“ Ha? Ee,, enggak.
Eh, kayaknya aku tiba-tiba kepikiran kucing-kucing aku di rumah tadi, udah aku
kasih makan belum ya..” Aku tersenyum, tersipu, menyerigai. Tertangkap basah.
“ Laah, kamu belum
kasih makan kucing-kucing di rumah? Entar mereka nggak apa-apa tu?”
“ Em, kayaknya
enggak kenapa-kenapa deh. Lagian kan abis ini juga langsung pulangkan,
Insyaallah aman,” kataku meyakinkan.
“ Ohh, oke”
“ Kalau kamu gimana?
Lagi dekat sama siapa sekarang?” serangku.
“ Aku? Lagi dekat
sama kamu. Hahaha,” dug. Hatiku tertembak lagi. Sakit, tapi aku suka. Kutahan
senyuman senangku, berpura-pura merasa biasa saja. Hanya ikut tertawa mengikuti
Aufa. Agak garing.
“ Aku juga punya
pacar. Tapi itu dulu. Sekitar tiga bulan yang lalu sih. Terus kami putus cuma
gara-gara dia cemburu enggak jelas, terus dia marah-marah,” Aufa menjelaskan
semuanya dengan detail.
Aku berfikir bodoh
sekali laki-laki itu tidak menjaga perempuan seperti ini dengan baik. Aufa
terlihat ramah, ceria, tapi ternyata ia menyimpan luka di hatinya. Mantannya justru
menjadi salah satu alasan ia bangkit dan keterpurukan. Tapi justru sekarang
mantanya yang dulu men-treat nya dengan sangat baik menjadi asing dan
berubah seketika. Ah sudah lah, aku tak mau ambil pusing.
“ Jadi ya, sekarang
kami asing, dia nggak pernah lagi ngasih kabar atau sekedar basa-basi, hanya
sekedar menjadi penonton story. Entah lah, mungkin kami memang sudah
waktunya saling melupakan,” Aufa lalu mnyeruput Matca Latte di
hadapannya.
“ Kamu sedih nggak?”
tanyaku. Aufa terdiam. Ia menghembuskan nafas, mencoba baik-baik saja. Aku
merasa pertanyaan tadi salah ku lontarkan.
“ Eh, sorry. Aku
nggak bermaksud untuk..”
“ That’s oke
Fatih. I’m ok. Hanya saja mungkin aku tidak bisa membohongi diriku kalau
aku masih sayang sama dia,” kata Aufa.
Aku diam. Hanya
mendengarkan.
“ Terkadang kita
bukan tidak bisa berpisah dengan seseorang yang kita sayangi, bukan sosoknya yang
kita rindui, tapi kenangan bersamanya yang tak pernah ingin kita akhiri,”
ucapku dengan tenang, seakan semuanya keluar dari dalam hati.
Aufa tersenyum tipis
ke arahku. Ya, kami sama-sama korban cinta lama. Cinta yang dibangun dengan
bertahun-tahun namun pupus di ujung senja yang perlahan usang diusik waktu.
“ Mau jalan-jalan ke
pantai?” ku beranikan diri mengajak Aufa.
Aufa megangguk dan
mengisyaratkan setuju dengan mimik wajahnya. Itu cukup kentara untukku
memahaminya.
Kami berjalan,
menjajaki pasir pantai yang semakin lama seakan hendak menelan jari-jari kaki.
Sambil menuju bibir pantai, aku memandangi langit yang mulai berwarna jingga.
Sesekali ku lirik Aufa yang berjalan selangkah di depanku.
“ Ternyata kita
memiliki sejarah cinta yang sama, sama-sama disisakan kenangan yang membekas
bahkan tanpa alasan jelas,” suara Aufa samar diantara desiran ombak dan angin
pantai. Aku hanya diam mendengarkan.
“ Aku harap bisa
menemukan seseorang yang bisa menghilangkan kenangan ini, dengan kenangan baru
yang lebih indah,” papar Aufa. Aku
berhenti. Aku menatapnya yang terus berjalan ke depan. Hatiku berdegup kencang
tak karuan, rasanya sesak seperti malaikat pencabut nyawa sudah berada di
sampingku.
“ Aufa, boleh kah
aku menjadi orang yang kau sebutkan itu?”
---
Selamat menunggu ending nyaa..
Endingnya bikin ga sabar nunggu Jum'at depan ðŸ˜
BalasHapus