Bukan Cerita Negeri 5 Menara

Bukan Cerita Negeri 5 Menara

 


“Ahh, sudah lama aku tidak mendapatkan tidur yang berkualitas, akhirnya,”. Gumamku, mengangkat badan dan duduk di pinggir Kasur. Aku mengecek hp, melihat jam dan bergegas bangun. Aktivitas pertama tetap menjadikan diriku sebagai budak para anabul yang kini jumlahnya mungkin 17 ekor, belum lagi ditambah dengan anggota keluarga yang akan bergabung, mungkin sepekan lagi akan masuk ruang persalinan.


“Aku sudah seperti robot saja,” batinku. Aktivitasku seakan sudah tersusun rapi setiap harinya. Ya, aku memang menjadwalkan semuanya, di kepalaku. Jika ada yang bergeser, maka aku akan kesal, marah, badmood dan memasang wajah 12 pas ku kepada siapapun. Jika itu terjadi, tolong siapapun itu jangan memulai pembicaraan padaku, atau kau akan ku lumat habis dengan satu kali lahap.


Tapi tenang saja, hari ini mood ku sangat baik. Cukup baik untuk membuatmu tersenyum sepanjang hari.  Jumat berkah yang diawali dengan kerjar mengejar jadwal antara kerja rutinitas dan kerja prioritas. Seingatku hari ini aku akan mengadakan nonton film bersama murid di Pondok Modern Darussalam Gontor Kampus 8. Waah, mendengar namanya saja aku sudah takjub. Akhirnya aku akan menginjakkan kaki di pesantren terkenal itu.


Perjalanan sekitar 45 menit dari Kota Banda Aceh. Aku dan teman-temanku berangkat dengan dua mobil. Mobil yang aku naiki berisi enam orang, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Sedangkan mobil satunya membawa semua perlengkapan dan hanya dikendarai dua orang. Kami melewati Tol Indrapuri-Seulawah. Indah sekali, hamparan tanah hijau sepanjang mata memandang, di ujung sana tampak berjejeran pohon-pohon yang tak jelas jenis apa.  Beberapa ratus meter di depan tampak jajaran sawah-sawah yang sedang ditanami padi, tampak sejuk, namun sayang beberapa terendam air akibat hujan yang mengguyur beberapa minggu terakhir.


Tak terasa, sampai di lokasi. GONTOR 8. Tulisan itu berdiri kokoh di tengah papan nama yang sepertinya terbuat dari besi yang cukup kuat. Cukup besar untuk dilihat oleh siapa saja yang melintas di jalan ini. Ketika mobil berbelok hendak masuk, sekitar 30 orang santri sedang duduk lesehan di tengah jalan. Ada satu orang di tengah-tengah mereka yang sudah tentu, jika aku tidak keliru pasti itu salah satu ustadnya.


Melihat mobil kami masuk, mereka satu persatu bangun dan bergeser. Kami berjalan perlahan melewati kerumunan. Di pintu masuk pesantren, ada dua orang ‘penjaga’ berpakaian pramuka. Mungkin mereka anak pramuka atau mungkin santri di sana, aku juga tidak terlalu paham.


“ Dek, kami yang kemarin mau adakan road show pemutaran film,” ucap teman di sampingku yang menyetir mobil, setelah ia menurunkan kaca pintu di sampingku.


“Sebentar kak,”Kata salah satunya. Lalu ia pergi berjalan masuk ke dalam.


Kami menunggu, nger-ngeri sedap. Antara takut tidak bisa menghargai mereka dengan takut memberikan kesan yang tidak baik. Ya, hari ini bahkan mau tidak mau aku harus menggunakan rok ku yang hampir aku museumkan. Jika bukan karena pergi ke kampus, pengajian dan pesantren ini, mungkin rok itu sudah bisa ku berikan pada yang membutuhkan.


Begitu juga teman di sebelahku, dia bahkan harus mengambil rok yang sudah disusun rapi di tumpukan barang yang mungkin takkan lagi disentuh. Demi menghargai. Bukan tidak terbiasa atau tidak suka, tapi menggunakan celana buatku mungkin menjadikanku lebih leluasa. Celana kain yang tidak terlalu ketat ku rasa lebih nyaman untuk digunakan. 


Laki-laki kembali dan berpesan agar menjumpai senior mereka yang bertanggung jawab pada even tersebut. Aku dan teman perempuanku turun. Yang lain lagi menunggu di mobil. Setelah hanya sekedar basa-basi, kami kembali ke mobil dan menuju lokasi kegiatan.


“Benar-benar tertib,” batinku. Dari sejak masuk, ada satu kalimat yang menjadi perhatian kami. “Ke Gontor, Apa yang kau cari,?” tulisan itu tertulis jelas di beberapa bangunan di sana. Aku langsung berfikir, seberapa banyak mereka yang masuk ke sini hanya karena keinginan orang tuanya, dan seberapa banyak dari mereka yang masuk ke sini karena keinginan pribadi. Ah, aku penasaran.


Kami tidak langsung bergegas mempersiapkan semuanya. Menunggu arahan selanjutnya. Waaahh, aku semakin kagum. Tapi beberapa lokasi terlihat kotor di sana sini, beberapa lantai menggenang air berwarna biru keunguan yang aku ragu air apa itu, mungkin lebih mirip air Bunga Telang. Beberapa menit lalu, laki-laki yang mengarahkan kami berkata bahwa semalam sedang ada sesi pemotretan leting, jadi harus dibersihkan dahulu.


Kami menunggu, 11:30 PM, sebentar lagi shalat Jumat, apa mungkin menyelesaikan semua peralatan tepat waktu sebelum shalat Jumat? Layar, infokus, snack dan sebagainya. Kami mengangkat barang menuju lantai atas. Sedikit demi sedikit, berulang, naik turun. Barang bawaan kami lumayan banyak, dengan jumlah anggota yang hanya 9 orang.


Di atas, para santri ternyata masih membersihkan aula yang akan digunakan. Becek sekali, air di mana-mana. Aku berfikir, mungkin beginilah jika semuanya anak laki-laki.


Kami menumpuk barang di panggung kecil di depan aula. Tanpa menganggu para santri membersihkan lantai. Seru juga memperhatikan mereka. Kerja sama yang baik. Beberapa orang memegang pel untuk menarik air, beberapa lagi memeras air dengan baju bekas mereka yang sudah tidak terpakai, yang lainnya mengeringkan dengan kain baju juga, sisanya berdiri dan memantau. Tak terasa pekerjaan mereka sudah selesai dengan cepat.


Waahh, aku takjub. Ternyata bersih dan mengkilap. Seperti seakan tidak ada genangan air apapun sebelum ini. Memang kita tidak bisa menilai sesuatu hanya karena First Impression, tapi First Impression selalu menjadi hal yang membekas.


Para santri lalu tiba-tiba menghilang tanpa terlihat satu orangpun, entah mereka bersembunyi, menghilang atau apapun itu. Tapi menurutku mungkin mereka mandi dan bersiap-siap untuk shalat Jumat. Sedangkan kami masih sibuk mempersiapkan beberapa peralatan yang akan digunakan nanti. Di sela-sela itu, aku menyempatkan diri untuk membaca serial webtoon yang baru saja beberapa hari lalu ku download. Aku menemunkan satu judul bagus ‘ Sister Of War’ yang membuat hatiku cenat-cenut dengan alur ceritanya yang menarik.


Akhirnya semua selesai dengan cepat. Layar, infokus, makanan sudah tersedia dengan baik, hanya menungu waktu shalat Jumat selesai dan melangsungkan acara. Aku masih sibuk membaca cerita webtoon, entah kenapa aku seakan merasakan jalan cerita yang dibangun. Entah kenapa belakangan aku kembali menemukan diriku yang gila membaca, padahal sudah hampir bertahun lamanya sikap malas membacaku mendominasi.


Tiba waktunya. Para santri datang ke aula. Berbondong-bondong menulis nama mereka di meja registrasi. Sebelumnya nama mereka sudah diserahkan oleh senior yang tadi mengarahkan kami. Mungkin sekitar 100 orang, kurang lebih. Waahh, aku deg degan. Mencoba mengingat kembali bagaimana proses syuting dan jalan film yang sudah ku buat itu. Ya, film dengan judul Surat dari Ahmad itu akan diputar hari ini. Aku sebagai penulis naskah sekaligus produser pelaksana akan menjadi narasumber di depan para adik-adik ini.


Mereka yang sudah siap mendaftar berdiri di luar ruangan. Sesekali kepala mereka meronggok ke dalam. Tak ada satupun yang masuk. Aku tanya pada temanku apa mereka sudah boleh masuk. Lalu aku mengajak mereka untuk masuk dan duduk. Dengan sigap mereka masuk dan duduk di atas alas yang tadinya mereka sendiri yang bentangkan. Sekali lagi aku takjub, ternyata seperti ini yang dirasakan Ahmad Fuadi ketika dia mendapatkan ide dan menumpahkan semua pengalamanya selama di pesantren ke dalam buku Negeri 5 Menara.


Melihat wajah mereka, masih sangat muda dan penuh semangat. Wajah mereka masih terlalu imut, tapi cukup tangguh untuk menjadi seorang pria yang menuntut ilmu agama.


Acara dimulai, diawali dengan pembukaan oleh salah satu perwakilan ustad dari Pondok Modern Darussalam Gontor Kampus 8. Dilanjutkan dengan nonton bersama film Surat dari Ahmad. Meski aku sedikit tidak puas, karena ruang yang digunakan tidak terlalu gelap jadi cahaya yang jatuh ke layar bagiku tidak terlalu jelas. Aku ragu mereka akan bisa menikmati visualnya dengan baik.


Mereka bertepuk tangan dengan keras ketika film selesai. Sesekali bersorak dalam film ketika nama Ahmad disebutkan. Mungkin karena ada yang bernama Ahmad di dalam kerumunan ini.


Aku dan para narasumber lain naik ke panggung.  Sesi diskusi dimulai. Aku sedikit gugup, meskipun di depan para santri yang sudah tentu mereka semua adik-adikku. Moderator lalu melemparkan pertanyaan padaku, yang sebenarnya pertanyaan itu aku sendiri yang merancangnya untuk menjadi pemantik pertanyaan para santri.


Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan. Salah satu santri yang bertanya padaku. Namanya Ahmad. Ternyata dia yang dari tadi ditunjuk oleh teman-temannya. “ Setelah membuat film ini, apakah kakak akan membuat sebuah novel atau buku,?” tanyanya yang dilontarkan padaku.


Aku tersenyum tipis. “Sudah tentu ada, dan ini yang sedang aku lakukan.” Batinku. Aku menceritakan semua padanya, tentang rencana yang akan aku buat juga menyampaikan motivasi yang mungkin berguna bagi mereka. And, Done. Acara selesai dengan semua seremoni, foto bersama dan penyerahan penghargaan untuk pondok.


“Hufft. Akhirnya selesai, tidak terlalu buruk,”  fikirku. Aku kemudian langsung keluar dari ruangan, berdiri di depan pintu yang entah kenapa dan apa yang aku lakukan. Saat hendak kembali masuk ke dalam, seorang santri lalu mendatangiku.


“Kak, boleh minta tanda tangannya,?” ucap seorang santri sambil menyodorkan buku yang sudah tertulis namaku dan space untuk ku tanda tangani. Ha? Tanda tanga? Untuk apa? Aku masih bingung, tapi, baiklah. Aku pun menandatanginya. Dan dia berlalu sambil mengucapkan terima kasih. Teman-temannya yang lain memperhatikan.


“Mungkin dia disuruh seniornya, atau mungkin memang sudah kebiasaannya begitu,” aku terus membatin. Toh, aku juga dulu pernah meminta tanda tangan orang saat pertama masuk sekolah. Tapi ini bukan tahun ajaran baru kan? Aku lalu mencari amunisiku, kopi. Lalu seorang santri kembali mendekatiku.


“Kak, boleh minta tanda tangan,?” katanya.


“Ha? Oh, okee,” aku heran sambil tersenyum. Bantinku, aku merasa seperti sedang menjadi artis sehari. Tapi yang masih aku fikirkan, akan dikemanakan tanda tangan itu dan buat apa? Aku terus memikirkannya. Mungkin ada sekitar 5-6 orang yang meminta tanda tanganku. Meskipun ku lihat dibuku mereka ada nama yang lain di sana. Ku fikir, mungkin mereka akan meminta tanda tangan semua pemateri yang hadir untuk menjadikannya motivasi. Mungkin saja.


Para santri sudah mulai menghilang, tinggal satu persatu saja. Ternyata ada dua orang santri yang dari tadi menunggu untuk meminta tanda tanganku. Mungkin mereka ragu, lalu salah satunya mendatangiku dan meminta tanda tangan. Aku dengan cepat melakukannya, lalu aku meminta izin memfotonya sebagai kenangan untuk diriku sendiri, lalu kami berselfie. Ternyata temannya yang menunggu dari tadi juga ingin hal yang sama, ia meminjam pulpen temannya dan memberikan buku serta pulpennya padaku.


Aku langsung membubuhkan tanda tanga itu, lalu dia memintaku untuk menuliskan nomor HP ku. “Waah, yang satu ini cukup berani,” fikirku. Aku pun menuliskannya.


“Tapi enggak boleh bawa hp kan ke pondok,?” tanyaku.


“Iya kak, nanti kalau misalnya saya nulis, ada tulisan dan mau bertanya sama kakak, nanti saya hubungi kakak ya,?” ia meminta. Aku pun mengiyakan. Dan aku bertanya dari mana asalnya. Ahh, aku lupa dia dari mana. Memori ku memang sedikit bodoh jika tidak langsung ku tulis dalam kepalaku. Yang jelas, memang jarang sekali anak Aceh yang bersekolah di sini.


Aku berfikir, mungkin banyak dari kerumunan tadi yang masih ingin mengobrol, berdiskusi atau sekedar meminta tanda tangan. Tapi mungkin mereka tidak memiliki cukup keberanian. Ya, aku tau itu, sebab aku selalu melakukannya. Aku mengabaikan siapapun di depanku karena aku tidak memiliki cukup keberanian untuk sekedar menyapa apalagi bertanya. Sering sekali ku lakukan, bahkan hingga tak terhingga seberapa sering. Cukup berkesan hari ini. Akhirnya, berkah Jumat kembali ku rasakan.


Saat hendak membantu teman-temanku membereskan barang, ustad yang tadi menjadi perwakilan pondok tiba-tiba menghampiriku. Bertanya dan mengobrol tentang film, Aceh, bahkan hingga tradisi yang harus dilestarikan atau tradisi yang harus diislamkan.


“Lestarikan tradisi atau mengislamkan tradisi,” katanya. Benar juga fikirku. Katanya, tradisi yang bisa kita lestarikan adalah tradisi yang mengajarkan Islam, dan Aceh memanglah memiliki tradisi yang harus dilestarikan. Lalu, bagaimana dengan tradisi di lokasi lain yang justru bukan dari wilayah Islam? Lombok misalnya, lokasi asal ustad kelahiran 25 tahun yang lalu itu.


“Jika ingin melestarikan budaya maka harus kita Islamkan tradisi. Misalnya pakaian ada yang lebih tertutup meski dengan ukuran dan motif khas Lombok,” katanya. Benar juga. Tidak semua bisa dilestarikan sesuai dengan syariat Islam. Tapi Aceh, memang sudah patut untuk dilestarikan tradisinya.


Ya, percakapan singkat itu lumayan membekas untuk membuka fikiranku antara melestarikan budaya dan mengislamkan budaya.


Lalu dengan isengnya, teman-teman ku yang sedang sibuk membereskan perlengkapan dengan senang hati mengambil momen percakapan itu dan melemparkannya di grup hingga menjadi perbincangan. Cukup kreatif dan berbakat untuk menjadi seorang paparazzi.


Setidaknya, cukup banyak hal yang aku dapat dari sana. Bagiku, pengalaman seperti ini akan sangat mahal harganya, namun semua bisa ku dapatkan secara percuma, hanya dengan peka dan sedikit terbuka. Andai aku menjadi aku yang dulu, mungkin takkan ada yang berkesan dalam hari-hariku, hanya sendu.

3 komentar