Break Up Before Meet Up

Break Up Before Meet Up



Pagi itu langit tampak sedikit mendung. Aku melirik ke arah jam tangan casio yang sudah hampir 3 tahun tak terganti. Pukul 11:14 pm, sebentar lagi waktu shalat Jumat dan aku sedang menunggu pesan penjemputan dari teman ku. Kami sudah berjanji akan bertemu sebelum para jaamaah pergi ke masjid, tepatnya sebelum jam 12.


Blip. Notifikasi handphone ku berbunyi.


"Ok boy, I’m done,” kata Jack dari Whatsapp.


Aku hanya membacanya dan langsung bergegas menjemput, jarak lokasi kami hanya sekitar 2 kilometer. Jack yang saat itu masih berkerja sebagai kasir di sebuah minimarket aku  jemput dengan motor Nmax ku keluaran 2019. Jarak 2 kilometer dari lokasi markas aku sekarang mungkin memakan waktu sekitar 7 menit dengan jalan berlubang di 100 meter pertama.


Ku pacu motor Nmax hitam kesayanganku yang ku beri nama Spidey, mirip panggilan Spiderman. Dengan kecepatan 60 kilometer perjam aku seperti berada dalam arena balap motor. Sesekali ku rem karena di depan ada mobil yang besar menghalangi.


Sampai di sana aku melihat Jack menunggu di pinggi jalan. Ia melihat ku, datang menghampiri dan lansung melompat ke atas motor. Tanpa basa-basi aku langsung memutar kembali arah motor ke jalan tadi ku lewati.


Ya, lokasi nonkrong kali ini adalah kafe yang sering kami kunjungi. Café Taria.  Selalu menjadi pilihan pertama dan terakhir kami. Terlebih lagi setiap Jumat mereka akan memberikan minuman gratis untuk setiap pesanan pertama. I mean, siapa yang tidak suka gratisan, itung-itung aku membantu mereka bersedekah dengan menjadi salah satu penerima.


***

Aku duduk bersama Jack di tempat biasa. Meja panjang dari kayu yang hanya dibelah dua dan di plaster menjadi halus lalu dicat. Warna dan bentuk batang kayunya masih terlalu kentara, estetik. Pagar kayu berjejer rapi, sebuah pohon jambu di tengah café dan suasana tenang bagai sebuah taman di tepi danau dengan aliran air. Tapi, cuaca tiba-tiba mendung, lalu seorang laki-laki datang membawa list minuman.


“ Coffe Mocha dingin satu ya, es nya pisah,” kataku. 


“ Lemon tea panas bro, kayak biasa gelas besar ya,” pesan Jack.


“Tambah kentang goreng originalnya satu bang,” pintaku.


Pelayan laki-laki itu mengiyakan dan langung pergi menyiapkan pesanan kami. Aku pun memulai percakapan dengan Jack tentang buku yang akan kami tulis.


“Sudah buat outlinenya,” tanyaku pada Jack.


“Belum, belum sempat menulis.  Tapi tenang, sudah ada dalam kepalaku,” ucap lelaki asal Langsa  itu.


Hmm, aku hanya tersenyum melebarkan bibirku tanpa mengerutkan pelupuk mata. Ya, senyum terpaksa karena kecewa yang lagi-lagi harus menunggu ketidakpastian. Tapi aku kenal dia, aku tau Jack seorang jenius yang diselimuti rasa malas. Andai saja dia tidak semalas ini mungkin dia sekarang sudah menjadi direktur di sebuah perusahaan asing dengan kapasitas otaknya yang mungkin aku pun belum tentu mampu menyainginya.


“Yaudah catat lah, bagaimana caranya aku tau apa yang ada dalam otak kamu tanpa kamu tuliskan,” kataku.


“Siap bro, nanti malam langsung aku tulis ya,” bilang Jack.


Aku tak memperpanjang lagi pembahasan kami. Pembahasan lain akhirnya menjadi topik pembicaraan, padahal awalnya menulis outline buku adalah tujuan utama pertemuan siang ini, sembari absen dapat minum gratisan.


Ada saja hal-hal menarik yang ku bahas bersama Jack. Lelaki berkulit sawo matang dengan tinggi 160 centimeter itu selalu memperbaiki kacamata yang meletak di hidungnya.  Ya, dia teman ku, teman yang tidak waras menurutku, karena dia tergila-gila dengan buku. Aku sempat berfikir bagaimana jadinya dia nanti, bahkan tak tau bagaimana rasaanya jatuh cinta, terlalu imaginatif.  Tapi aku kenal Jack, mulai dari kebiasaan sehari-hari, emosi hingga ambisi sementara yang bisa dibilang ‘anget-anget tai ayam’. Tapi semuanya terasa menarik jika membahasnya dengan Jack, si jenius yang tak pernah bisa move on dari kemalasannya.


Tiba-tiba aku merasakan angin yang bertiup di belakangku semakin kencang dan beberapa tetes air jatuh dari langit. Bajuku hampir basah karena ternyata gerimis beserta angin masuk dari celah-celah pagar kayu.


“Basah Jack, pindah kita, ke dalam gimana?,” tanya ku.


“Yaudah, yuk,” sambut Jack dan langsung berdiri membawa tas dan minumannya menuju masuk ke bagian Cafee yang lebih tertutup.


Ya, di sini terasa lebih hangat dan lebih akrab. Suasana tenang lebih terasa tanpa terganggu angin dan gerimis yang berlomba-lomba jatuh ke bumi. Kami duduk pojok pertama persis di depan kasir dan barista membuat minuman. Susunan mesin kopi modern dengan warna dan aroma yang membuat nyaman semakin membuatku menambah nilai untuk cafee ini, 8/10. Boleh lah untuk nongkrong dan sangat rekomendasi untuk duduk sendiri jika butuh inspirasi dan kesendirian. Cocok untuk aku yang sedikit anak senja ini.


Tapi sepertinya aku akan lebih menyukai tempat ini. Di tambah dengan beberapa perempuan yang berdatangan dan duduk tepat di depan ku. Setidaknya bisa sesekali melirik satu atau dua orang untuk ‘cuci mata’. Yaa, tapi mereka biasa aja menurutku tidak ada yang memberikan kesan yang menyentuh hatiku. Jujur saja aku memang pujangga yang mampu merangkai kata untuk siapapun, tapi tidak jika bukan karena hatiku yang tersentuh.


Aku memang orang yang sedikit teliti dalam melihat perempuan. Tak perlu yang cantik secara fisik, dari attitude bahkan cara dia memandang dan menjawab sudah bisa membuatku jatuh hati. Ya, aku termasuk lelaki yang mudah menaruh hati tapi bukan berarti aku playboy dan suka memainkan perasaan wanita, aku hanya mengangumi mereka sebagai dewi dalam tulisan ku. Syukur-syukur kalau bisa berkenalan, tapi seringnya hanya sebatas mengagumi lewat kata dan tak sampai terucap dari bibirku. Biarlah mereka ku kenang dalam diam. Menjadi bait dalam puisi-puisi indahku yang kadang hanya aku sendiri yang menikmati.


Aku tersadar, pukul 12:15 PM, sudah waktunya shalat Jumat. Aku dan Jack bergegas berangkat ke masjid yang jaraknya tidak jauh dari Cafee Senja. Hanya sekitar 500 meter. Aku sudah menyiapkan semuanya dalam bagasi motor, sarung, dan wewangian.


Aku dan Jack memilih berjalan kaki. Anggaplah sebagai salah satu cara menambah pahala Jumat berkah.


Kami langsung menuju tempat wudhu. Aku lupa bawa peci. Aku membasuh muka dan membasahi jenggot tipis ku yang merambat sampai ke Jambang. Ya memang terlihat sedikit tua dengan bentuk ini, tapi aku merasa lebih macho dan lebih dewasa.


***

Selepas shalat, masih ada 30 menit lagi waktu bagi kami membual. Aku dan Jack masih melanjutkan diskusi kami yang merambat dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan. Tentang rencana pernikahan di masa depan dan juga usaha yang ingin dibangun. Bayangan masa depan seperti apa yang ingin kami bangun, semuanya kami ceritakan dalam detik-detik jam sebelum Jack kembali bekerja.


“Jadi tanaman kamu harus disiram berapa kali sehari?,” tanya Jack.


“Cukup sekali sehari, tapi ingat, jangan biarkan terlalu kena panas dan jangan biarkan terlalu banyak air. Kamu harus merawatnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang, bayangin kalau itu anakmu sendiri,” jelasku pada Jack yang bertanya bagaimana merawat pohon Stroberi.


“Ah, ribet amat. Kayak anak sendiri gimana, anak aja belum punya, mamak nya dulu carii,” Jack nge gas.


“Ya jadi mau gimana, lakuin dulu salama dua hari ini. Cuma kamu bro yang bisa aku harapin, toh aku gak punya pacar dan gak ada siapa-siapa yang bisa diharapin juga. You’re the only one,” rayuku.


“Najiiissss, the only one apaan, ada maunya adanya kamu baik. Yaudah-yaudah, janji dua hari. Ingaatt, satu hari 300 ribu plus uang rokok,” ancam Jack.


“Eh, Sejak kapan kamu merokok,” tanyaku heran.


“Bukan merokok, itu uang bonus aja, emang perokok aja yang dapat uang rokok,” katanya.


“Hahaha, tenang bro. anything for you pokoknya, yang penting jaga anak-anak aku ya”.


 Di sela-sela tawa kami, tiba-tiba kami terdiam. Memikirkan apa yang selanjutnya akan kami bahas. Aku menyeruput minumanku. Jack memperhatikan sekitar, hampir memperhatikan seluruh isi ruanagan. Tiba-tiba wajahnya mendekat dan berbisik sambil melirik perepuan di depan kami.


“Bro, lihat cewek itu, cantik kan? Wajahnya bagus, semoga sifatnya juga,” kata Jack.


Aku pun meliriknya. Gaya dan perawakannya menarik di pandangan mata. Sebuah laptop di depannya terbuka, beberapa kertas bertumpuk di atas meja. Ia sendiri dengan minuman dan makanan yang tidak terlalu ku perhatikan. Tapi ya, wajahnya menarik dan sangat ramah di mataku.


Ah, Jack. Kau mengalihkan perhatian ku ke dia gara-gara kau mengatakannya. Tapi aku jadi penasaran dengannya. Aku pun berkali-kali mencoba mencuri pandang padanya. Dan tiba-tiba ia pun menatap mataku. Deg. Hatiku berdegup kencang, saat matanya dan mataku bertemu. Matanya begitu indah. Rasanya seperti memaggilku masuk ke dalam dirinya, meraskan keluh kesah dan luka yang ada padanya, aku yakin ada luka, seakan aku ingin menyelaminya.


Tidak, tidak. Aku harus sadar. Aku masih berbicara dan bercerita dengan Jack, tentang masalah keuangan dan profesiku tapi fikiranku tidak lagi fokus pada apa yang aku bicarakan. Aku terus saja melirik ke arahnya kalau-kalau dia melihat ke arahku lagi, mungki bisa ku jadikan sebagai tanda bahwa dia juga tertarik padaku, Tapi aku takut ketahuan oleh Jack kalau-kalau aku tertarik padanya. Aku pun meruskan pembicaraan kami, kali ini tentang aku yang akan pergi ke luar kota untuk riset lokasi wisata.


“Kali ini mungkin ke Singkil, akhirnya aku ke sana juga wak,” kataku. Logat Sumatera Utaraku akhirnya keluar juga.


“Wah seru tuh, aku belum pernah ke sana tapi sepengetahuan ku di sana bagus sama seperti pantai di labuhan Bajo kali ya,” ucap Jack.


“Iya,bahkan mungkin lebih bagus, karena ini wisata kita kan”.


“ Iya bener itu bro. Eh kayaknya aku udah harus balik ke toko ni, yuk cabut,” ajaknya padaku.


“Eh iya ya, keenakan bicara ni,” kataku.


Padahal bukan pembicaraan yang membuatku betah, tapi rasa penasaranku yang tak ingin bangkit dari kursi ini. Tapi aku memang harus bergegas kembali ke kehidupan robot ini, bangun pagi pergi kerja dan pulang sore untuk istirahat.


“Yaudah kalau gitu kita ketemu lagi di sini ya, hari Selasa,” ajak ku pada Jack.


“Oh, oke boleh,” jawabnya tanpa pikir panjang.


Aku sengaja membesarkan suaraku, kalau-kalau dia, perempuan di pojok sana mendegarnya dan akan kembali ke sini minggu depan, tepat di hari Selasa. Ya, ini sama seperti membuat janji dengannya, apakah dia akan datang atau harapanku yang akan sirna...

----- 

Part 2, Kita lanjut Jumat depan yaa.. mohon ditunggu.. 


1 komentar

  1. Meunyoe ka di khem berarti ka di tem. Masih menunggu carita lanjutannya

    BalasHapus