Break Up Before Meet Up (Part 4)
Cerpen
***
Aku duduk di teras
rumah. Membaca buku berjudul Madre milik Dee Lestari yang baru ku beli dua hari
lalu. Asap dari coklat panas di meja samping ku masih mengepul tapi mulai
menipis. Blip. Notifikasi hp ku berbunyi. Aku lihat, chat dari Aufa. Aku
langsung membukanya.
“ Hei, boleh aku
berbicara sebentar?” tulisnya. Aku lalu menelfonnya tanpa membalas apapun.
“ Assalamualaikum”
ucapku.
“ Wa’alaikum salam,”
balas Aufa, suaranya terdengar lembut dibalik Hp. Hatiku berdegup, sama seperti
biasa.
“ Apa kabar Fatih,?”
tanyanya.
“ Alhamdulillah aku
baik, kamu, bagaimana kabarmu?”
“ Aku baik, sama
baiknya seperti terakhir kali kita ketemu,” katanya.
“ Oh, iya. Itu sudah
hampir 5 hari yang lalu ya. Bagaimana perjalananmu di sana?” tanyaku.
“ Menarik sih,
lumayan mengasyikkan. Jepang selalu memiliki tempat terbaik di hatiku.”
“ Wah, seru sekali
bisa ke negeri Gunung Fuji. Aku hanya baru bermimpi untuk ke sana”.
“ Nanti kamu pasti
pergi dong, aku temenin, hihi lewat virtual” sebut Aufa.
“ Haha, boleh kamu
yang jadi guide nya ya, biar aku nggak nyasar,” ucapku.
“ Tentu. Oh ya
Fatih, aku mau bilang sesuatu terkait percakapan terakhir kita di pantai,” ucap
Aufa tiba-tiba. Hatiku makin berdegup kencang, rasanya seperti aku sedang
menyaksikan perang.
“ Iya,” kataku
sedikit gugup.
“ Emm, Sepertinya
aku menerima tawaranmu untuk menjadikanmu sosok itu,” ucap Aufa tanpa ragu.
Deg. Aku terdiam. Aku terpaku tak mampu berkata-kata.
“ Fatih, kamu masih
di situ?” kata Aufa.
“ Eh, ee iya Aufa
aku dengar,”
“ Terus?”
“ Terus?” tanyaku
lagi.
“ Ya terus apa,?”
aku masih terdiam, belum percaya. Lebih tepatnya, tidak tahu harus bereaksi
seperti apa.
“ Kamu yakin Aufa?”
“ Iya, aku yakin.
Aku ingin menghapus jejaknya dalam hidupku, dan selama aku di sini aku
bersyukur, justru kamu yang selalu hadir dalam fikiranku,” jelasnya.
Aku senang bukan
kepayang. Oh God, is it true? Why this look so easy?. Aku masih
bertanya-tanya, tapi dengan cepat aku melupakan berbagai pertanyaan itu. Aku
sedang dihantui rasa kasmaran yang menggebu dalam hatiku. Ohh, Aufa.
“ Wahh, aku jadi
tidak bisa berkata-kata. Tapi, terima kasih sudah mengingat aku. Maaf karena
aku sudah menjadi orang yang ngengenin, pasti kamu susah ya, hehe” godaku.
“ Hahaha, iya susah
banget kamu, bikin aku keinget terus. Maunya ada kamu di sini biar lebih seru,”
katanya.
“ Emm, enggak boleh
dong, kalo kita berdua aja entar yang ketiganya siapa?” godaku lagi.
“ Yang ketiganya ya
orang tua akulah, masa ia kita berduaan di sini. Belum waktunya dong,” kata
Aufa.
“Yaudah, kalau gitu
aku tunggu waktunya ya,?” kataku, mengode.
“ Ok, buktikan
kalo emang kamu sosok itu,” Aufa menantang.
“ Siap bos, aku akan berusaha sekuat tenaga, jiwa dan raga. Hahaha,” kami tertawa bersama.
Jika ada
yang melihatku mungkin mereka bisa tahu bahwa aku sedang berbicara dengan
kekasih hatiku dan juga sendang kasmaran. Jelas terlihat, aku bahwa sedari tadi
mondar mandir tidak karuan man menyentuh semua yang ada di depanku sambil
tersenyum.
“ Ya sudah, kalau
begitu, aku akan menunggu kamu pulang. Aku akan menunggumu di Bandara,” kataku.
“ Baiklah, kalau
begitu aku tutup dulu ya. Sehat-sehat selalu di sana Fatih, sampai bertemu
untuk membuat kenangan baru,” kata Aufa.
“ Baik-baik juga di
sana Aufa, sampai ketemu. Ku titipkan salam rindu untukmu selalu,” kataku.
Aku menutup telfon.
Senyuman masih bertahan di bibirku. Aku melirik ke hp yang baru saja ku matikan
telfon atas nama ‘Aufa’. Aku melirik jam di hp ku.
“Masih ada satu
minggu lagi,” gumamku. Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata,
merasakan perasaan dalam diriku dan menghepaskannya perlahan. Aahh, jatuh
cinta.
***
Aku masih sibuk
menatap dan memijat-mijak keyboard laptopku hampir 1 jam lebih. Sesekali
ku lirik jam yang muncul di layar hp ku setiap 15 menit sekali. 13:45 PM. Aku
kembali melanjutkan pijatan kecilku, mungkin jika laptop ini bisa berbicara, dia
akan bilang kalau pijatan ku ini hanya akan menyakiti dirinya, karena aku
memijat tak henti.
Tiba-tiba hp ku bedering. ‘Jack’ muncul di layar hp ku, memanggil. “Ah, kau membuyarkannya,”gumamku. Aku menganggat telfon dan berbicara dengannya. Kesepekatan seperti biasa, dia akan datang setelah semua tugasnya beres. Itu sudah dia bilang dari mungkin 45 menit yang lalu.
“Sebentar lagi
mungkin aku selesai,” katanya.
Bagiku bukan
masalah. Aku justru memiliki waktu untuk menghabiskan imajinasi otakku yang
masih melayang-layang di udara, sebelum semuanya buyar dan tak lagi ada di
kepalaku.
Blip.
Pesan masuk. Notifikasi whatsapp. Aufa dengan tanda love. Aku
langsung membuka dan membacanya.
“ Bagaimana, jadi
pergi besok?” tanyanya.
“ Iya, jadi.
Dipercepat berangkatnya nanti malam,” balasku.
“ Oke, hati-hati ya.
Ingat, jaga mata jaga hati, hihi,” katanya.
“Siap ndan,”
balasku, Aku tersenyum ke arah hp yang ku pegang. Rasanya banyak sekali
bunga-bunga yang tumbuh dalam dadaku.
“Waahh, inikah
rasanya hidup kembali,” batinku. Rasanya seperti berada
diantara bunga Dendelion dengan aroma segar bunga, menatap langit cerah dan
menatap mentari yang yang melambai-lambai padaku. Angin yang selalu menggodaku
dengan bisikanny. Membayangkan semuanya aku lakukan berdua bersamanya, menatap
seorang gadis pujaan hati sambil memegang tangannya, berjalan ke arah pantai. Ahhh.
Drrttt. Hp ku bergetar.
Jack. Ahh, kau lagi. Aku mengambil hp dan bangkit dari kursi. Bergegar berjalan
meninggalkan semuanya di mejaku dan mengangatkat telfon, berbicara dengan Jack.
“Iya, ini aku jemput
sekarang,” kataku.
***
Aku duduk bersender
di pinggir samping kasur tidurku. Membuka hp, dan tersenyum. Bagaimana tidak. Aufa
baru saja mengirimkan aku fotonya yang sedang tersenyum di bawah Sakura. Rona merah
wajahnya hampir sama dengan Sakura yang indah, bahkan lebih indah dari Sakura
manapu, karena dia Sakuraku.
Aku masih saja tersenyum
melihat ke arahnya, sampai-sampai lupa untuk membalas. Lalu satu telfon masuk.
Aufa. Aku tersadar dan bergegas menganggkatnya.
“Iya, Halo. Assalamu’alaikum,”
kataku.
“ Wa’alaikum salam. Kok
pesan aku cuma di read?,” tanya Aufa.
“Ah, iya. Aku lupa. Soalnya
tadi aku sibuk merhatiin foto kamu, masih aku pandangi,”
“ Iyakah? Kenapa? Enggak
bagus ya? Atau kamu enggak suka kalau aku kirim foto? Maaf, maaf,”
“Ee, bukan, bukan. Justru
karena foto itu terlalu bagus dan terlalu indah sampai-sampai aku lupa untuk balas
pesan kamu,” gombalku.
“ Ah, Sudah berani
gombal rupanya. Atau memang kamu selalu gini ya sama cewek-cewek kamu
sebelumnya? Ha?,” tanyanya sedikit menekankan.
“ Ehh, enggak. Aku
hanya mengeluarkan kata-kata indah hanya untuk sesuatu yang benar-benar indah,”
gombalku lagi.
“ Yeee,, enggak
percaya sih,”
“Aduh,” kataku.
“ eh, kamu kenapa?,”
tanyanya, khawatir.
“ Mata aku tiba-tiba
sakit,”
“ Loh kok bisa? Sakit
kenapa? Kemasukkan abu?”
“ Sakit karena yang
aku lihat tadi indah banget, bersinar banget dari mata sampai ke hati aku,” lagi-lagi
aku menggombal.
“ Iss, Fatiiihhh. Kamu
yaa,” ucap Aufa sambil kesel, tersenyum dan sepertinya agak malu.
“ Hehe, kan emang
iya. Kalau enggak masak sih bikin aku terus-terusan liatin kamu,” kataku.
“ Malu tau. Oh iya,
kamu udah siapkan baju untuk berangkat?”
Aku melirik ke
sekeliling kamarku. Tidak terlalu berantakan untuk seorang laki-laki lajang,
tapi juga tidak terllau rapi. Aku memang sedang memasukkan baju dan perlengkapan
lain ke dalam tas ransel ku. Lalu Aufa selalu menjadi pengalihan isu dan
membuatku melupakan semuanya.
“ Iya, ini aku lagi
beres-beres sih. Dikit lagi kelar ni,” ucapku.
“ Ya sudah,
hati-hati di sana. Bawa keperluan yang penting-penting aja, jaket jangan lupa
entar dingin loh di sana,”
“ Iya, siap bos”
kataku.
Kami masih terus
mengobrol, seakan sedang menghabiskan rasa rindu yang terbesit dalam hati
masing-masing. Sambil terus sibuk tersenyum seorang diri dan bertingkat aneh. Namanya
juga jatuh cinta, bro.
“ Ya sudah kalau
begitu, udah mau maghrib di sini, akum au siap-siap dulu ya,” kataku.
“ Oh, iya. Ya sudah
kalau begitu,”
“ Hati-hati di sana
ya, jaga mata dan hati kamu. Semoga selalu dalam lindungan Allah, doakan aku
juga semoga kita bisa cepat bersama, eheheh,” godaku.
“ Hehehe, iya iya
Ammiin ya Allah,”
“ Ya sudah aku tutup
ya Assalamualaikum,” aku menutup telfon.
Aku
menatap ke depan, ke arah dinding kamar ku. Beberapa foto terpajang di sana. Chairil
Anwar. puisi Riri Riza, James Cameron dan James Patterson. Di bawahnya,
sebuah meja berukuran 1,5 meter membentang dan terduduk kokoh. Tumpukan buku
dan beberapa lebar kertas tak beraturan. Aku bangun, menuju meja itu. Mengambil
satu buah buku yang ku fikir akan menemani waktu senggangku di sana. Ku masukkan
dalam tas dan bergegas menegakkan tiga rakaat.
***
Udara dingin mulai
menusuk-nusuk kulitku. Masuk melalui lubang hidung dan naik mengisi otakku
dengan udara dingin, aku jadi seperti sakit kepala. Aku melirik hp ku, 16 derajat
celcius. Waahh, pantas saja jaket ku seakan tidak berfungsi. Aku mengelurkan
kupluk dari dalam tas kecilku dan memakainya. Ini lebih baik, setidaknya
rambut-rambutku tidak beku.
Sekarang pukul 4:30
AM, 2600 meter di atas permukaan laut. Lumayan membuatku mengigil untuk
seseorang yang tidak suka dingin. Lebih tepatnya, seseorang yang jarang mendaki
gunung hanya untuk sekedar menghabiskan waktu menghilangkan penat, jika bukan
karena pekerjaan aku lebih suka untuk menghiskan waktunya menyendiri di lokasi
yang nyaman menurutku dengan hanya ditemani segelas kopi dan jari-jemari yang
menari di atas keyboard, aku menyukai suaranya, seakan aku sedang
menekan not pada papan piano, berirama.
Aku mengangkat hp
ku, tak ada sinyal. Lalu ku buka kamera, mengambil foto di beberapa sisi. Lokasi atau benda yang menurut ku menarik, atau sekedar menjadi
inspirasiku membuat sebuah kata-kata yang mungkin cukup unik. Suasana masih sedikit
gelap, fajar belum bangun dari tidur panjangnya, apa mungkin ia semalam
bergadang?.
Kami terus mendaki perlahan, punggungku tidak sesakit kemarin. Karena bawaanku tidak sebanyak ketika kami mendaki dari bawah. Haya sebuah ransel hitam berisi perlengkapan, kamera, memori kecil, lensa, dan tripod kecil. Air minumku yang masih penuh aku gantungkan pada tali-tali. Kini ia menggangtung di sana. Aku rasa sepertinya sekarang sudah jam 5 pagi. Langit Sudah mulai terlihat di depanku. Sayangnya, tumpukan awan menutupi semua. “Ah, sia-sia”, pikirku.
Sampai di puncak,
kami yang hanya berjumlah sekitar 7 orang lelaki istirahat sejenak. Beberapa mereka
duduk dan mengoceh kesal karena awan yang cukup tebal menyelimuti pagi yang
dingin menusuk hingga ke tulang. Aku hanya berdiri, masih ngos-ngosan dan
menarik nafas dalam menghirup udara pagi yang terasa masuk hingga membuat
paru-paruku dingin. Sejuknya, seakan aku ingin selalu menghirup udara ini.
Aku lalu bergegas meluruhkan
semua barang bawaan. Aku pamit shalat, subuh. Berwudhu dengan air dari botol minum
yang ku bawa tadi, sebelumnya aku teguk beberapa kali untuk menghilangkan
dahaga. Aku lalu mencari lokasi yang sedikit rata untuk mendirikan dua rakaatku.
Teman-temanku yang lain sibuk menyetel kamera dan tripod mereka untuk mengambil
timelapse fajar di puncak Gunung Neder.
Aku mengusap
wajahku. Masih terasa beberapa tetes wudhu belum terlalu kering di wajahku,
tapi tangaku kini hampir beku. Aku bangun sambil mulut masih kumat-kamit. Berjalan
menuju ke ujung sudut jurang. Aku tidak mau munafik, tapi sekarang matahari ini
sungguh indah. Awan-awan yang tadinya menutupi perlahan pergi, seakan mereka
tengah menutupi sang pengantin yang akan dipersunting dan kini kami melihatnya,
sang pengantin. Fajar di puncak Neder.
Kami melakukan semua
yang harus kami lakukan. Mengambil semua gambar dan footage yang diperlukan
untuk projek yang sedang dijalankan. Perlahan matahari semakin menerangi. Kami yang
mulai terasa keroncongan tanpa berlama-lama membuka persediaan kami. Mengambil kompor
kecil, memanaskan air dan membuat kopi. Kopi Neder yang terkenal dan paling
top, menyeruput langsung di depan fajar indah, dengan udara dingin yang memeluk
diri. Ini kenimatan dunia.
Aku mengambil
secangkir kopi, menyeruputnya dan. “Ssrrrrrpp, ahhh.” Lalu aku bangun
dan beranjak mengintari sekitar. Matahari mulai memperlihatakan keindahan di sekitar
kami. Perlahan aku mulai melihat tumbuhan kantung smar yang ebrtebaran di
mana-mana, bahkan hampir semua semak ini adalah kantung smar. Terlihat oleh ku satu tumbuhan indah yang muncul berserakan di sekitar. Kau tau,
ini tumbuhan yang selalu dicari orang-orang ketika mereka mendaki. Bunga abadi.
Edelweis.
Seketika aku teringat
Aufa, aku berharap ia dan aku sama seperti bunga ini. Abadi. Aku dengan cepat
mendekatinya. Tenang, aku tidak akan memetiknya hanya untuk memberikan bunga itu
kepada Aufa. Aku hanya akan memfotonya dan membuat video beberapa detik
kalau-kalau bisa aku gunakan untuk reels instagram baruku. Tapi aku akan tetap
membawa bung aini untuk Aufa, oleh-olehku untuknya.
***
Bang Fatih jago banget gombalnya,angkat aku jadi muridmu ✋🏻
BalasHapus