Bi Huruf Jar

Bi Huruf Jar

 


Hai Senin, lumayan melelahkan ya. Bukan karena pekerjaan yang menumpuk, tapi karena hati yang terus memupuk. Bukan-bukan. Ini bukan cerita cinta. Ini hanya cerita tentang nostalgia yang tiba-tiba hadir dalam benakku. Seperti terguyur hujan di terik mentari. Seketika aku seperti mengingat mendapatkan kembali apa yang dulunya pernah ku miliki.


Semua berawal dari siang, ketika matahari masih terlalu bersemangat untuk tersenyum kepada bumi. Menyapa hampir semua mahkluk yang ada di muka dunia. “Lumayan cerah senyumanmu hari ini, Tari,” kataku. Cukup lumayan untuk membuat basah dan bau  badanku yang hari ini terbalut baju dinas rapi dan tertutup dengan jaket kesukaanku.


Mengintari Kota Banda Aceh dengan Bestie, yang terus mengoceh dan kami saling beradu mulut dengan hal-hal tidak penting dan sesekali saling memukul-mukul helm dengan kepala. Ya, kami sedang perang, perang mulut yang mungkin sudah lama tidak kami lakukan. Belakangan kami memang agak kaku, mungkin karena pekerjaan, atau mungkin memang aktivitas kami yang hanya mengharuskan berjumpa ketika malam hari.


Setelah mengintari ke sana ke mari, aku mengajak Bestie untuk membeli bahan kain untuk baju baruku. Singkat cerita, mata ku tertuju pada kain putih motif sederhana yang dipajang. Sayangnya, kain itu hanya tersisa satu meter, tidak cukup untuk menutupi badanku yang sedikit kekar ini. Dengan pikiran yang terbuka dan kening yang mengkerut, Bestieku sedang berfikir untuk membuat baju itu bisa aku pakai. Seperti biasa, aku memaksa Bestie untuk bisa mengkombinasikan baju itu dengan kain lain agar bisa aku gunakan. Mau tidak mau akhirnya apa yang kuinginkan kesampaian.


Saat sedang bernego dengan abang penjual, bestie tiba-tiba menyebut tentang pesantren. Lalu abang penjual menantangnya untuk menyebutkan I’rab Bismillah. Mendengar hal itu, seketika aku terdiam. Seolah-olah aku pernah memilikinya dalam otakku. Otakku kembali mencari serpihan ingatanku yang hilang tentang itu. Aku mencarinya, sangat keras, karena aku yakin aku dulu pernah memilikinya. Hingga akhirnya aku hanya mampu mengingat 1 kalimat awal. Bi, Huruf Jar.


Ahh, ingatan itu membuatku malu pada Tuhan, malu pada diri sendiri dan malu pada fikiranku. Padahal dulu dengan susah payah aku mengahafal dan mempelajari semuanya. Bisa-bisanya aku melupakan mereka begitu saja, bahkan aku tak tau lagi di mana aku meletakkan ingatan itu. Padahal aku selalu mengingat saat-saat indah ketika menata mereka dalam kepalaku. Padahal aku selalu merindukan saat-saat itu.


Pertanyaan itu mengahantuiku sepanjang hari, hingga matahari kembali ke penginapannya dan malam mulai meronda. Karena tak tahan, akhirnya aku membuka mesin pencarian terbesar di dunia ini. Dan ya, sudah tentu dia tahu. Aku membacanya, meski tak terlalu paham dengan cara penyampaiannya. Tapi aku ingat satu kalimat lagi. Bi, Huruf Jar, Ismi yang dipejar, alamat Jar kasrah yang dhahir pada akhirnya.


Aku menghela nafas. Bagaimana bisa aku melupakan sesuatu yang dulu begitu aku banggakan? Tapi setidaknya pikiranku sedikit mulai tenang. Padahal pada susunan rak buku jelas berjejer kitab-kitab kuning yang kuikut sertakan dalam perjalananku merajut asa di Koetardja. Sayang, mereka hanya ku pajang. Ampuni aku Tuhan.

 

2 komentar