Belajar dari Amarah

Belajar dari Amarah




Sore itu, aku kesal dengan sorang driver ojol yang tidak mengenakkan, sehingga memancing amarah dan membuatku hampir kehilangan sopan santun. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk…

***

Posisinya sore itu aku memutuskan untuk bertemu dengan salah satu temanku. Berkendara dengan sepeda motorku seperti biasa dengan ransel dan baju dinas masih terpasang di tubuhku.

Di sana aku dan temanku mengobrol beberapa saat sampai akhirnya aku merasa sepertinya aku ingin makan makanan pedas seperti dimsum.

Aku pun memutuskan untuk membelinya melalui sebuah aplikasi ojek online. Berhubung aplikasi ojek online udah aku hapus jadi aku install balik. Menunggu aplikasi terinstall sambil berbincang terkait pekerjaan dengan temanku tadi.

Setelah itu, aku langsung pesan dimsum yang biasa aku makan sama adik di rumah. Aku pesan satu dan ditujukan ke alamat rumah. Aku pesen, terus nemu pengemudinya dan langsung dibuatkan pesanan.

Jam 17:10 aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan pamit duluan kepada teman ku. Tak bersleang lama, saat hendak memulai perjalanan salah satu temanku yang lainnya menelfon. Aku ingat, memang sebelumnya aku dan beberapa teman lainnya sudah berencana untuk nonkrong. Tapi karena masih ada beberapa hal yang belum aku lakukan, aku pun memutuskan untuk menyusul mereka nanti.

Aku melanjutkan perjalanan pulang dan aku masih memegangi hp karena merasa malas untuk mendorongnya masuk ke celana ku yang sedikit sempit ditambah lagi dengan posisiku yang sedang duduk mengendarai motor.

Drrtt..drrtt.. hp aku bergetar lagi, nomor masuk, “Ini pasti Ojol” dalam hatiku. Aku pun mengangkatnya.

Posisinya ku sekitar  5 menit menuju ke rumah. Ternyata abang ojol sudah sampai dan dia bilang di lokasi.

“Suaranya kurang jelas bang,” kataku.

“Kakak lagi di jalan ya?,”. aku pun menepikan kendaraan aku agar suaranya tidak terdengar bising lagi.

“Saya sudah di lokasi ini kak,” kata abang ojol.

“Iya bang, abang udah sampe di …(lokasi) kan?,” tanyaku.

“Iya udah di….(lokasi yang lain),” katanya.

“loh, abang enggak masuk ke depan cafee bla bla bla?, yasudah kalo enggak abang tunggu sebentar ya saya sudah mau sampai,” pintaku.

Akupun kembali jalan dengan hp terus ditangan dan mencoba untuk menelfon adikku yang sedang di rumah tapi tidak terhubung. Mungkin karena sinyal dan hal lainnya.

Kondisi sore ini lumayan padat di lampu merah. Dan masih ada 3 lampu merah yang harus aku lalui unutk menuju ke rumah. Karena sibuk dengan hp sempat beberapa kali aku hampir menambrak kendaraan lain di depan. Dengan tergesa-gesa dan menyetir satu tangan, dalam fikiranku aku enggak mau abang ojol ini menunggu terlalu lama, mungkin dia sedang menunggu orderan lainnya. Menurutku, waktu adalah hal yang penting bagi para driver ojol.

Abang ojol lalu telfon lagi.

“Kakaknya di mana?,” tanyanya.

“Saya sudah mau sampai ini bang, kalau enggak abng tunggu saja di depan caffe bla bla,” pintaku lagi dengan perasaan yang tidak enak.

Sedangkan abang ojol sudah dengan nada yang tidak suka seakan kesal dari awal dia menelfon.

“Tadi kakaknya enggak ada bilang suruh ke sana,” jawabnya kesal. Padahal jelas di chat aplikasi dia tau lokasi caffee tersebut.

Kkan sudah saya bilang tadi lokasinya,” jawabku masih dengan nada sedikit segan.

“Ini saya sudah mau sampai,” tambahku.

“Sudah mau sampai, sudah mau sampai, lama kali,”ucapnya dengan nada kesal.

Aku terkejut mendengarnya jantungku semakin berdebar kencang. Beraninya dia marah. Maksudku, apakah dia pantas untuk marah? Atau aku salah? Seharusnya dia tidak boleh berkata seperti itu, aku bukan sedang mempermainkannya kan? Atau aku sedang tidak dengan sengaja membuat dia tersessat dan harus menunggu. Aku juga sedang berusaha menelfon orang rumah unutk mengambilnya dengan segera.

“Sabar lah bang,” ucapku dengan nada sedikit kesal.

 Ya Allah, batinku. Dengan kondisi jalan yang ramai, seakan tidak jarak rumahku semakin jauh.

Sampai di lokasi yang aku tuju, aku mencari driver tersebut. Melihat ke ujung dan ketemu. Itu dia. Aku langsung berhenti di depannya.

Jadi kok marah-marah? Kalo capek tidak usah narik bang? Mau saya kasih nilai jelek? Apa aku harus buat sesuatu supaya abang ini merasa bahwa dia butuh kepada kostumer?. Semua perkataan itu muncul dlam benakku sesaat sebelum aku bertemu dia.

“Ini abang ojolnya ya,” tanyaku mencoba biasa saja. Padahal dalam hatiku bergejolak amarah yang entah bagaimana jika aku tak membendung semuanya.

“Ini kakak yang pesan dimsum ya,? Lain kali kan kak kalau kasih lokasi yang sesuai jangan seperti ini,” katanya, mencoba berbicara tanpa emosi. Tapi jelas, itu adalah nada kesal yang disembunyikan. Aku bisa tahu itu.

“Ya kan saya sudah bilang diawal kirimnya ke mana, abangnya kan bisa telfon saya juga, kalau lokasi rumah saya memang tidak ada di map,” ucapku mencoba menahan amarah.

Jantungku berdegup cukup kecang. Aku selalu tidak menyukai suasana ini. Suasana yang berurusan dengan sesuatu yang tidak baik dengan orang lain. Aku membenci situasi ini.

“Tadi berapa semua,seratus Sembilan ribu ya,?” tanyanya padaku, mengalihkan pembicaraan dan melihat kearah hpnya.

Aku pun membuka tas dan mengambil uang dalam dompet coklatku. Sambil menarik nafas panjang dan menghela nafasnya melalui mulut.

“haahh,” hela ku. Aku sengaja melakukan itu, ya, supaya dia tahu aku juga kesal namun menahannya.

Seharian bekerja dengan masih dengan ribuan tugas mengiang dalam otakku, aku masih masih berusaha untuk tidak emosi dan mengeluarkan perkataan dan nada yang mungkin bisa menyakiti hatinya.

Aku memberinya uang seratus sepuluh ribu.

“Ini bang, maaf sudah membuat abang kesal karena salah lokasi,” ucapku. Suaraku memberat.

Mungkin dia berfikir aku seperti ingin menangis, nyatanya aku hanya kesal. Bayangkan mengucapkan maaf disutuasi yang rumit dengan jantung yang masih berdegup, lelah yang masih berpunuk padaku dan kesal yang harus kulalui dan aku harus mengucapkan maaf.

Ia masih mencari kembalian seribu rupiah dalam dompetnya dan belum memberikan pesananku.

“Tidak usah dikembalikan,” kataku.

Aku melihatnya tidak bisa medapatkan uang kembalian. Lalu ia mengambil uang lima ribu rupiah.

“Ini kak, ambil aja,” katanya sambil menyerahkan uang lima ribu rupiah dan pesananku.

“Tidak usah,”kataku.

Aku hanya mengambil pesananku dan pergi berlalu. Lalu aku seperti lupa mengucapkan terima kasih. Aku pun mengucapkannya dengan memalingkan wajahku ke belakang sambil berlalu. Entah lah dia mendengarnya atau tidak, atau bisa jadi dia mendengarkan aku berkata perkataan yang lain. Sudahlah, toh sudah selesai.

Dalam hatiku, aku masih tidak habis fikir. Siapa yang salah? Aku? Oke aku yang salah mungkin karena aku harus buat dia menunggu. Atau dia? Kenapa tidak sedikit sabar? Sudahlah, Mungkin dia lelah setelah seharia bekerja, toh pekerjaannya bukan pekerjaan yang mudah. Tenang, batinku. Aku tetap akan memberikan bintang lima dan pesan yang baik.

Sesampainya di rumah, aku kesal dan mengatakan semuanya kepada adik dan temanku. Mereka jadi tempatku mencurahkan semua kekesalanku. Iya, aku masih kesal dan masih terganjal di sini, dijantungku. Lalu aku memutuskan untuk lebih dulu menunaikan kewajiban.

Setelah berwudhu, ada nomor masuk.

“Sepertinya driver ojol tadi,” batinku.

Aku sengaja tidak menerima telfon tersebut. Aku berfikir mungkin dia masih mau  marah, dan nanti dia bahkan bisa membuat moodku semakin rusak.

Setelah selesai melaksanakan ibadah ashar, aku mencoba melihat aplikasi tadi dan ingin memberikan penilaianku. Ternyata tidak ada. Entah dihapus, ataubagaimana, entahlah. Sudahlah, sudah selesai. Tinggal mencoba berdamai dengan hatiku sendiri.

Hp ku berdering, nomor masuk dari Whatassapp. Pasti laki-laki itu. Aku pun menganggkatnya.

“Halo kak, ini driver tadi,” suaranya terdengar melalui hp.

“Iya, kenapa bang?” tanyaku.

“Saya mau minta maaf karena kejadian tadi kak, enggak enak saya terbayang sampai sekarang,” ucapnya dengan sopan.

Haaaaahh,.. gumamku dalam hati. Ternyata bukan cuma aku yang sibuk memikirkan perasaan hatiku yang tak menentu, bukan karena jatuh cinta, justeru karena perasaan yang tidak enak ini.

“Ia, sudah saya maafkan. Mungkin abangnya tadi lelah karena habis ngojek seharian, saya paham,” kataku.

“Iya kak, makasih kalau udah dimaafin, sebenarnya saya baru narik tadi karena baru pulang kerja, mungkin karena saya kecapean ya kak,” katanya lagi.

“Iya enggak papa, yang penting abangnya sehat selalu ya,” ucapku.

“Iya kak, besok-besok kalau masu pesan lagi pesan ke sini saja ya kak, tidak saya ambil ongkir buat kakak,” tawarnya padaku.

“Iya bang, sip, makasih ya,”

Aku mengakhiri telfon itu. Seketika api yang tadi masih berbara kini bak tersiram air hujan. Akhirnya aku lega. Mungkin sebelumnya terjadi miskomunikasi antara kami. Mungkin dia bersikap demikian karena merasa lelah. Banyak lagi kemungkinan lain yang bisa menyebabkan dia berlaku seperti itu. Aku tidak bisa langsung memutuskan bahwa dia adalah orang yang tidak sabaran, tidak sopan dan tidak menghormati pelanggan. Sebab aku tidak kenal dia dan aku tidak tahu masalahnya.

Alhamdulillah, kini selesai sudah permasalahan antara amarah dalam dada dan juga kesalahan yang terjadi entah benar atau salah antara aku dan dia.

***

The best think adalah emosi adalah kunci segalanya. Ketika kamu mampu mengontrol emosi dengan sekelumit perasaan yang justeru mampu memancing amarah maka kamu sudah memilih untuk menghentikan masalah yang lebih besar.

Kalau seandainya saja kemarin aku marah kepada abang ojol tersebut

POV Aku Marah: Aku marah – masih emosi dan dendam– benci dengan aplikasinya – tidak percaya lagi dengan ojol di aplikasi tersebut -  menyampaikan pesan dan kesan yang tidak baik melalui medsos – menyarankan teman untuk menggunakan aplikasi ojol yang lain – memberikan penilaian yang buruk ke pada driver tersebut – driver tersebut diberikan sanksi – dendam berkepanjangan

POV abang ojol : Marah – kesal dan tidak terima dengan penilaian – merasa benar karena kostumer yang memberikan alamat salah – dapat teguran – bermasalah dengan pekerjaan driver ojolnya – dendam – marah berkepanjangan

***

Terkadang ada kalanya kita mengalah untuk menang.  Intinya, sabar itu tidak ada batasnya. Hanya saja kita yang sering membatasi kesabaran tersebut sebagaimana kata Rasulullah, jika kita marah maka cukup diam. Memang benar, sulit sekali menahan amarah ketika marah apalagi ketika kita merasa benar. Tapi percayalah, semua justeru lebih indah jika kita sabar. Dan sekarang kami sudah berteman dan tidak memiliki perasaan kesal sama sekali.

Untuk kalian, yuk kita sama-sama belajar sabar dan berkata yang baik saja dalam keadaan apapun. Yakinlah itu akan menimbulkan hal yang positif buat kita, mungkin bukan sekarang, tapi percayalah suatu saat kamu akan merasakan nikmatnya bersabar.

Terimkasih sudah membaca.. silahkan tinggalkan komentar ya..  

3 komentar