Aku yang Pernah Bercita-cita
Inspiratif
Aku adalah seorang yang ambisius. Yap, setidaknya itu yang aku rasakan belakangan ini. Menjadi ambisius ternyata bukan pilihan hidup tapi keharusan yang aku tanamkan dalam diri. Sedikit aku ceritakan tentang aku.
Tumbuh menjadi anak pertama menjadikanku lebih “Powerfull” dari saudaraku yang lain. Memiliki semua apapun yang kuinginkan menjadi prioritas kedua orang tua, sejak saat aku masih kecil hingga dewasa. Selebihnya, saudaraku yang lain akan belajar dari apa yang sudah aku miliki atau menggunakan barang-barang peninggalanku.
Pada dasarnya begitulah anak pertama, tapi tidak semua anak pertama seperti itu. Aku mungkin beruntung terlahir dari keluarga yang serba kecukupan meski tak berlebihan. Setidaknya mampu untuk memiliki apa yang aku inginkan meski harus menunggu beberapa saat agar bisa mendapatkannya.
Pernah dulu aku ingin dibelikan sebuah piano listrik, lebih tepatnya keyboard T500 yang mungkin harganya tidak seberapa di tahun itu, tapi aku harus menunggu beberapa bulan dan berulang kali menagihnya baru dapat.
Pernah juga, ketika kebutuhan teknologi semakin berkembang, aku tau orangtuaku tidak akan dengan mudah membelikan aku sebuah laptop standar untuk kebutuhan sekolah waktu itu. Aku pun berinisiatif untuk mengumpulkan sedikit uang untuk membantu ayahku membelinya. Alhasil, aku bisa mendapatkan laptop pertamaku saat kelas 2 Sekolah Menengah Akhir dengan estimasi pembiayaan aku dan ayahku 60:40. Aku merasa bangga, karena dengan begitu aku memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga barang tersebut bahkan hingga sekarang.
Kembali ke topik awal, ambisius. Aku fikir, mungkin ambisius adalah sifat yang diciptakan bukan dilahirkan. Siapapun akan ambisius ketika ia memiliki sesuatu untuk dicapai. Jika ditanya apa yang ingin aku capai dalam hidup, mungkin jawabanku “entahlah”. Menjadi dewasa ternyata mengajarkanku tentang memilih atau pilihan, harus atau keharusan.
Saat kecil, mungkin jika ditanya apa cita-citaku, maka
menjadi dokter adalah cita-cita terkeren, at that time I guess. Tapi
pada kenyataannya, tak sedikitpun jalan hidupku yang mengarah ke sana. Aku
teringat pernah membeli sebuah buku berjudl ‘Fikih Kedokteran’ aku membacanya
setiap hari dengan semangat, meski tidak ada tekad sesungguhnya untuk menjadi
dokter sungguhan. Bukan karena tidak mau, mungkin keadaan yang membawa ku untuk
berfikir “setidaknya menjadi orang berguna”, maka aku selalu berusaha menjadi
orang yang mungkin berguna.
Teringat dulu, aku sempat bercita-cita yang sangat dalam di
diriku, aku bahkan merasa bahwa aku yakin mampu menggapai mimpi itu, padahal
kenyataannya bagaikan punuk merindukan bulan. Bayangkan saja, aku yang anak
desa yang bahkan sekolahku berada sejauh hampir 20 kilometer dari jalan lintas
Banda Aceh-Medan bercita-cita ingin menjadi seorang astronot. Hahaha, Big
impossible, at least itulah yang difikirkan orangtuaku. Mana mungkin bisa
seorang anak kampung, dengan biaya hidup cukup-cukupan memiliki cita-cita berkantor
di angkasa. Sama seperti aku menggantungkan mimpiku di antara bintang-bintang,
tapi aku hanya memiliki tangga untuk menggantungnya di sana.
Yaa, mungkin karena kebiasaan ku yang suka membaca dan
membeli buku tentang astronomi saat masih kecil. Kegemaranku pada astronomi
memang menggila dulu, bahkan apapun yang ditanya tentang “Space” I know, I
have to know, and I must know. Segitu gilanya aku pada angkasa.
Malam selalu menjadi waktu tenangku, sebab aku bisa melihat
rasi-rasi bintang yang bertebaran di atas kepala. Apalagi kalau listrik sedang
padam, meski takut gelap dengan sigap aku mengambil kursi biru sandar berbahan
plastik, mengangkatnya keluar dan duduk menghadap bintang. Jangan ganggu aku,
aku sednag menikmati malam dan bintang.
Aku menghirup udara malam yang agak lembab dan menghelenya
dengan senyuman. “Sangat nyaman menikmati keindahan,”. Bahkan sesekali aku memamerkan
keahlianku melihat benda-benda yang bergerak di angkasa pada adikku yang
mungkin sama sekali tidak tertarik, tapi ia penasaran. Setidaknya itu membuatku
memiliki teman bercerita tentang kesukaanku pada langit malam.
Namun perlahan, semua mulai gugur saat aku mengungkapkannya
pada ibuku bahwa aku ingin menjadi astronot. Mungkin dalam nada bercanda tapi
aku serius, ma. Lalu bagaikan petir di siang hari, mama menghancurkan semua menara
mimpi dalam hatiku hanya dengan satu kata. “Kalau mimpi yang mungkin-mungkin
aja kak,”.
Buuumm, seketika semuanya hambar. Hal yang baru saja tadi
menjadikan hariku berwarna kini berubah abu-abu. Mama benar, tidak mungkin aku
bisa menjadi seorang astronot dengan tidak melakukan apa-apa. Menunggu ada yang
mengajak ku bergabung dengan NASA? Mimpi pun mungkin tidak kesampaian, apalagi
menemukan planet baru dengan teropong luar angkasa seperti yang dilakukan oleh Cukier (anak magang di NASA,2020) yang aku punya hanya dua pasang mata
pemberian Allah yang hanya bisa melihat paling jauh 500 meter, itupun sudah
buram.
Berat memang aku bangkit dari keterpurukan mimpi mustahil
yang aku bangun. Lalu semuanya perlahan jatuh dalam palung mimpi yang kini
menjadi puing-puing tak beraturan. Dengan seiring berjalannya waktu, aku bahkan
tidak sadar pernah memiliki mimpi begitu besar dan begitu tinggi. Sangking gilanya
bahkan, semua buku yang ingin ku beli hanyalah astronomi. Meski sering
diselingi buku biologi dan geografi tapi topik utama tetap angkasa.
Aku pun mulai membenahi hatiku. Menatanya kembali, membangun
cita-cita baru, mencari motivasi untuk menciptakan warna dalam diriku.
Sayangnya, tidak sama seperti yang seharusnya.
Aku semakin dewasa, bukan malah mengambil jalan sendiri, tapi
malah memutuskan untuk mengikuti ke mana arus membawaku pergi. Hanya sesekali berbelok
saat di depan ketidakpastian dan berhenti saat lelah.
Semakin ke sini semakin susah, susah menentukan, mau jadi apa aku? Arus kemarin membawa ku
menjadi seorang jurnalis muda di awal semester perkuliahan. Mau tidak mau aku
sudah terjerumus di dalamnya. Hanya tinggal mau menjalani dan terus basah atau
bangkit dan keluar mencari lubang baru. Aku pun memutuskan untuk tetap berada
di lubang itu.
Arus yang sekarang justru membawaku ke hulu lubang pertama.
Ternyata arusnya lebih kencang dengan lubang yang bahkan lebih luas. Aku bisa
lebih leluasa membawa diriku, meski sesekali hampir tenggelam dihantam ombak
yang muncul tiba-tiba.
Sekarang aku berdiri di sini, menjadi seorang penulis yang
saat ini kau baca tulisannya. Tulisan tentang aku yang pernah terombang ambing
dalam cita-cita dan kini menjadi seorang yang ambisius. Dan, sekarang aku
sadar, ambisius adalah pilihanku dan juga keharusan. Karena ada cita-cita baru
yang sudah ku bangun dari saat aku mulai membenahi menara mimpi yang kemarin
hancur tak tersisa. Bahkan menara yang lebih besar yang pernah aku miliki dalam
hidupku. Cita-cita itu kini tumbuh dan menyatu dalam aliran darahku.
Sebenarnya sudah bertahun lalu aku memutuskan untuk memiliki
cita-cita ini. Saat aku tak lagi memiliki cita-cita lain yang muncul dalam
diriku. Benar, menjadi orang berguna adalah cita-cita banyak orang. Tapi
cita-citaku sekarang adalah menggapai cita-cita orang tuaku,cita-cita mama dan cita-cita
ayahku. Itulah kenapa, aku tidak lagi memiliki cita-cita sekarang, jadi apapun
yang dicita-citakan mereka, adalah cita-citaku.
Bukan tanpa alasan, tapi nanti aku paparkan pada kalian
kenapa ini menjadi sebuah keharusan, bukan pilihan. Karena aku takkan memilih.
-------
Terimakasih sudah mendengarkan ceritaku melalui tulisan.
Seandainya saja aku bisa membagikan pada kalian lewat suara, mungkin semua
takkan terasa sama. Salam Senja !
Ditunggu paparan lanjutannya
BalasHapusAku semakin dewasa, bukan malah mengambil jalan sendiri, tapi malah memutuskan untuk mengikuti ke mana arus membawaku pergi. Hanya sesekali berbelok saat di depan ketidakpastian dan berhenti saat lelah.
BalasHapusKata kata itu ngena bangetttt...
Cerita yang bagus, ditunggu part 2 nyaaaa
BalasHapus