Cerita di Sebungkus Jamblang

Cerita di Sebungkus Jamblang


Foto Ilustrasi 
Minggu, 2 September

Matahari memanasi hamparan bumi yang luas ketika aku membuka mataku. Ahh, aku terlambat. Terlambat menyambut hari baru ku. Menyapanya dengan senyuman dan harapan serta cita-cita baru hari ini. Walaupun begitu, biarlah semua berlalu seperti kata Bonda Prokoso & Fade to Black, ‘Yasudahlah’.

Embun di dedaunan masih menunggu waktu penguapan. Sepertinya hari ini akan aku lalui dengan sedikit kemalasan. Betapa berat ku rasa untuk memisahkan ragaku dari tempat tidur ini. Kembali ku rebahkan tumpukan daging ini diantara bantalan kapas berbalut kain lembut. Tapi aku tetap harus bangun untuk meraih mimpi semalam.

Kau tau? Nyatanya tak ada hal yang begitu special hari ini. Hanya saja, waktu itu, sekitar pukul 15:56pm, aku dan seorang temanku berjalan melewati sebuah jembatan di Banda Aceh. Aku tertarik untuk membeli buah yang dijajakan pedagang di sepanjang jalan tersebut.

Buah hitam kecil yang memiliki rasa asam, manis dan sedikit sepet ini menggugah hatiku hari ini. Kami biasanya menyebut buah jamblang.  Aku berhenti di salah satu lapak. Ada dua orang anak laki-laki di sana,sedang duduk bersenderan di pembatas jembatan. Sekilas mereka sedang saling tersenyum ketika aku menghampiri.

“Singgah kak”. Jawab seorang yang lebih besar dari yang satunya. Tampak dari tubuhnya, ia adalah abang dari si laki-laki di sebelahnya.

“ Berapa satu?”. Tanyaku sambil melihat buah dalam bungkusan cup plastic berbentuk segi empat yang transparan.

“Yang kecil ini lima ribu, yang besar sepuluh ribu”, jelasnya.

Aku sibuk memilih buah yang bagus, hingga si adik yang di depanku menembakku dengan sebuah pertanyaan.

Kak, ek nyoe watee uroe kiamat na jembatan ube oek (kak, apa benar ketika hari kiamat ada jembatan sebesar rambut)?”. Tanyanya sambil memegang dan memperlihatkan padaku sehelai rambut berukuran tiga inci yang sedari tadi ia pegang.

Aku terdiam sesaat, seperti tidak yakin dengan pertanyaannya. Aku pun memintanya unutk mengulangi pertanyaan tersebut. Si adik itu tetap melontarkan pertanyaan yang sama. Kali ini aku yakin dengan apa yang ia tanyakan. Dengan wajah polosnya ia bertanya dan menunggu jawaban ku. Aku tatap matanya sesaat.

Memang nyoe, di plah tujoh lom (memang iya, dibelah tujuh lagi)”. Jawabku spontan.

Ternyata jawabku itu justru membuatnya semakin bingung. Ia seperti terkejut dan melirik kearah abangnya, si abang pun kembali melirik kearah adiknya. Yahh, seperti itulah kenyataan dari jawabanku.

Maka jih tanyoe beu lee amai (makanya kita harus banyak amal)”, tambahku.

Diapun semakin masuk ke dalam tanda tanya besar. Dan seperti mencari jawaban lain yang entah di mana kebenarannya.

Aku berhasil memilih satu bungkus pilihan terbaikku. Aku membeli satu dagangan mereka. Setelah si abang memberikan bungkusan ku, di adik mencolek abangnya dengan tanda mengajak si abang kembali berdiskusi dan menyelam ke dalam dunia mereka.

Ahh, ternyata masih ada yang peduli dengan akhirat. Betapa bahagia rasanya melihat mereka berbicara tentang hidup di akhirat kelak. Rasa penasaran itu bisa membawanya lebih jauh ke dalam pengetahuan yang tak pernah puas. Semoga ia tumbuh dalam ilmu yang bermanfaat baginya, bangsa dan agama. Semoga !

1 komentar