Cinta Indonesia Dari Koin
Cinta Rupiah
Rupiah merupakan alat transaksi yang
sah di Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata sudah diatur sedemikian rupa. Salah
satunya pada pasal 25 ayat 1 yang berbunyi: Setiap orang dilarang merusak,
memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan
kehormatan Rupiah sebagai simbol negera.
Pada kenyataan sekarang, beberapa
uang kertas yang kita pegang bentuknya tidak secantik pertama kali dikeluarkan.
Bentuknya lusuh, lembek dan hampir tak terlihat. Seyelah me;lakukan transaksi
biasanya masyarakat hanya memasukkan uang ke saku celana atau baju dengan
sesuaka hati. Akibatnya uang tersebut terlipat, terjepit, basah dan lecek.
Wisatawan yang
datang ke Indonesia, sudah barang tentu menggunakan uang rupiah sebagai alat
transaksi. Uang Republik Indonesia memiliki gambar yang bersangkutan dengan
kebudayaan yang dimiliki oleh negara ini, terlebih Bank Indonesia baru saja mengeluarkan
mata uang rupiah emisi 2016.
Uang yang
diterbitkan yaitu nominal Rp 100 ribu, Rp 50
ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. Sedangkan uang
rupiah logam terdiri atas pecahan Rp 1.000, Rp 500, Rp 200, dan Rp 100.
Disetiap lembarnya
tercantum gambar seni, adat dan lokasi wisata yang dipadukan berlawanan dengan
tokoh pahlawan Indonesia. Dua sisi uang kertas maupun logam selalu memiliki
gambar seorang pahlawan dan di sisi lainnya lagi bergambarkan seni tari dengan
latar belakang wisata Indonesia.
Misalnya saja uang
Rp.100 ribu, pada sisi depannya terdapat gambar pahlawan nasional sekaligus
presiden dan wakil presiden pertama Republik Indonesia yaitu Soekarno-Hatta.
Disisi belakangnya pun memiliki gambar penari yang menarikan tarian betawi
serta dengan latar belakang keindahan Raja Ampat, Papua.
Lalu sudah
benarkah kita memperlakukan rupiah saat ini? Dengan fenomena sepele yag
ternyata sangat fatal bagi negara Indonesia. Sejarah dan kebudayaan Indonesia
yang kita lipat lalu rusak dengan sendirinya?
Rupiah Identitas Bangsa
Uang rupiah
menceriminkan identitas bangsa Indonesia. Pesan tersebut jelas terdapat pada
setiap lembarannya. Mencintai rupiah sama artinya mencintai Indonesia. Bank
Indonesia mengeluarkan uang dengan selalu mendesain gambar keindahan alam dan
kebudayaan Indonesia. Mengedepankan tokoh pahlawan kebanggaan Indonesia untuk
selalu mengingatkan dan memberitahukan kepada siapapun bahwa kita memiliki
pahlawan hebat sepanjang sejarah.
Namun kenyataan
sekarang, beberapa masyarakat Indonesia justru abai untuk menghargai rupiah.
Padahal rupiah selalu ada dalam sendi kehidupan. Ibarat kata “Semuanya
memerlukan uang, meskipun uang bukanlah segalanya”.
Rupiah yang sering
dianggap tak berarti bagi sebagian masyarakat ialah pecahan Rp.1000, Rp.500,
Rp.200 dan Rp. 100. Beberapa sering menganggap uang tersebut tidak lagi berguna
dan tidak memiliki nilai tukar. Padahal sebagaimana yang dikatakan oleh
Agusman, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, bahwa Bank Indonesia menyediakan
uang logam atau koin pecahan kecil sebagai uang kembalian.
Pada praktik di dalam kehidupan, uang pecahan tersebut tak
memiliki tempat yang istimewa di dalam hati sebagian orang. Sebagai contoh,
ketika bertransaksi dan dikembalikan dengan uang pecahan Rp.500 atau Rp.200,
uang tersebut tidak lagi digunakan. Biasanya hanya disimpan atau bahkan
diletakkan disembarang tempat.
Contoh lain
misalnya, saat berbelanja di supermarket, mini market dan lain sebagainya,
kasir biasanya memberikan kembalian dengan menawarkan permen. Padahal permen bukanlah
merupakan alat pembayaran, hanya rupiahlah alat transaksi yang sah di
Indonesia. Itulah salah satu sebab Bank Indonesia masih mengeluarkan uang koin
seperti Rp.500, Rp.200 dan Rp.100.
Yang menjadi
masalah saat ini, kebanyakan orang sudah menganggap pecahan tersebut tidak
berharga dan tak bernilai. Uang yang dianggap paling rendah nilai tukarnya
hanya Rp.500. Ketika berbelanja dengan uang Rp.200 bahkan Rp.100 kebanyakan
masyarakat menolak, karena dianggap orang lain tidak akan mau untuk menerima
uang tersebut. Alasannya bisa beragam, dikarenakan uang logam tersebut terlalu
menyusahkan jika terlau banyak atau memang karena ia kurang mengerti makna uang
koin dalam kehidupan.
Pada pembuatannya, biaya untuk mencetak satu keping uang koin bisa
menghabiskan sebanyak nominalnya. Berbeda dengan uang kertas yang justru bisa lebih
murah dari harga nominalnya. Lalu mengapa masyarakat justru tidak menyukai uang
koin?
Menanam Cinta Pada Koin
Masih ingatkan
lagu ‘cinta rupiah’ yang dinyanyikan pada tahun 1997 oleh seorang artis cilik?
Lagu itu muncul berbarengan dengan Gerakan Cinta Rupiah yang diprakarsai oleh
Tutut Hadiarti Rukmana.
Itu merupakan
salah satu upaya dalam menumbuhkan benih cinta dalam diri masyarakat. Meskipun
gerakan tersebut tidak berhasil diakibatkan beberap hal, namun tidak ada kata
terlambat bagi kita untuk mencintai rupiah. Generasi saat ini justru mampu
membuat gerakan baru untuk mencintai rupiah.
Rupiah masih
mengungguli beberapa mata uang lain. Di Zimbabwe ketika seseorang ingin membeli
makanan berupa roti atau bahan makanan lain, mereka harus membawa tumpukan uang
yang banyak. Dengan uang sebanyak itu, mereka hanya mendapatkan satu macam
makanan saja. Bisa jadi hanya berupa satu buah roti.
Sedangkan di
Indonesia, dengan satu lembar uang Rp.100 ribu, bisa mendapatakan makanan
beragam, bahkan masih bisa untuk saling berbagi dengan yang membutuhkan. Uang
Rp.1000 saja masih bisa digunakan untuk transaksi, termasuk juga uang Rp.500.
Menurut penulis,
ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan benih cinta kepada
rupiah, sehingga masyarakat lebih mengindahkan rupiah dan menghargainya. Pertama,
mengubah pola pikir bahwa uang receh masih berharga.
Peristiwa yang
sering terjadi yaitu, uang recehan kebanyakan tak dihiraukan apabila terjatuh
maupun ketika terlihat jatuh dijalan. Orang-orang yang uangnya terjatuh dalam jumlah
kecil tak terlalu menghiraukan itu. begitu pula dengan orang yang menjumpai
uang pecahan kecil di jalan. Reaksi yang ditimbulkan hanya sebatas melihat,
tahu dan berlalu.
Beberapa daerah
pedesaan di Aceh, masyarakatnya tidak lagi mau menerima uang koin bahkan dengan
nominal Rp.1000. Jika diberikan koin, mereka akan bertanya ”Ada uang lain
tidak?”. Begitulah potret masyarakat kita di beberapa daerah. Bahkan di
sebagian tempat lain ada yang lebih memilih uang kertas Rp.1000 dari pada harus
menerima empat buah koin Rp.1000. Itulah
mengapa sangat penting membangun kesadaran untuk mencintai uang rupiah,
terutama uang logam.
Kedua, menolak pengembalian dengan barang lain. Para konsumen diberikan
kembalian dengan permen atau barang lain dengan maksud tidak memberikan uang
kembalian logam bisa menolak untuk tidak menerimanya. Sebanyak Rp. 6 triliun
uang logam yang dikeluarkan, hanya Rp. 900 miliar yang kembali. Ini sama dengan
16 persen dari jumlah awal. Lalu kemana 84 persen lainnya?
Sejauh ini yang
sangat mencintai uang koin hanyalah tukang parkir. Seberapapun uang koin yag
kita berikan, ia selalu mengulurkan tangan untuk menerimanya tanpa sedikitpun
mengeluh. Lalu haruskah kita dikalahkan dengan tukang parkir?
Ketiga, cintai
rupiah. Dengan kita mencintai pasti kita tidak ingin yang kita cintai dilakukan
semena-mena. Kita selalu memberikan yang terbaik kepada yang kita cinta. Begitu
juga memulai untuk mencintai rupiah, uang kertas maupun koin. Salah satunya dengan
menyusun dengan rapi lembaran uang, tidak merusak, merobek dan lain sebagainya.
Ketika kita melihat keindahan rupiah tersusun indah dalam dompet kita, maka
diharapkan kecintaan kita kepada rupiah semakin tinggi.
Untuk itu,
masyarakat Indonesia harus jeli dalam melihat hal seperti ini. Dengan
berbagai upaya yang dilakukan Bank Indonesia, seperti ajang perlombaan dengan
tema ‘cinta rupiah’ bisa membangun pula kecintaan masyarakat Indonsia untuk
lebih mengetahui dan memahami rupiah. Tak kenal maka tak sayang, maka
diharapkan masyarakat untuk mengenal terlebih dahulu, agar nantinya bisa
mencintai rupiah. Semoga !